Zahra Amiri, 61 tahun, ibu dari sembilan anak, bangun pagi-pagi sekali dan mengambil air dari sumur. Untuk itu, ia harus berjalan kaki cukup jauh. Setelah itu, ia memanggang roti dan menyiapkan sarapan. Sering kali ia ikut suaminya menggembalakan ternak, memerah susu domba, membuat yogurt dan keju. Tangan dan wajahnya menjadi gelap karena sinar matahari. Jika ada waktu di sela-sela pekerjaan, ia mengerjakan kilim atau karpet. Untuk mencapai tempat tujuan musim panas mereka, putrinya yang berusia 24 tahun, Forouzan, menunggang kuda. Forouzan menuntun kedua saudara perempuannya dan delapan keledai yang membawa barang-barang mereka dan sebuah tenda.
“Setelah bertahun-tahun bekerja keras, saya tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Kecuali anak-anak ini dan matahari,” kata Amiri. “Satu-satunya kegembiraan kami adalah minum teh.”
Hukum warisan bagi para masyarakat nomaden secara resmi tidak berbeda dengan hukum warisan bagi orang Iran lainnya. Namun dalam praktiknya, perempuan jarang mewarisi apa pun. Kebiasaan masyarakat nomaden adalah bahwa perempuan menyerahkan hak warisan mereka kepada saudara laki-laki mereka. Di sisi lain, perempuan diizinkan untuk menunggang kuda dan membawa senjata. Dan Amiri memiliki keduanya.
Konon memerah susu, mengambil air, dan memberikan warisan kepada wanita adalah hal yang tidak pantas bagi pria. Marzieh Esmaelipour, 33, mengatakan dia bahkan tidak akan mempertimbangkan untuk meminta bagian dari warisan. “Semua orang akan berbicara buruk tentang Anda jika Anda melakukan itu,” katanya.
Kerja keras, kurangnya hak, dan pengetahuan bahwa wanita Iran lainnya memiliki kehidupan yang lebih mudah akhirnya membuat banyak wanita nomaden menjadi agen perubahan.
Mahnaz Gheybpour, 41, pindah dari tenda satu dekade lalu. Dia dan suaminya bermigrasi di antara dua rumah sederhana. Satu di provinsi Khuzestan yang kaya minyak, untuk musim dingin. Dan lain di tempat dekat Chelgard untuk musim panas.
“Saya tidak akan membiarkan putri saya menikah dengan seorang nomaden,” katanya. “Gaya hidup tersebut mengerikan. Saya ingin mereka tinggal di kota dan belajar.”
Gheybpour menikah ketika dia berusia 16 tahun. “Saya masih anak-anak,” katanya. “Putri saya yang berusia 17 tahun tidak ingin menikah. Ia berkata kepada saya, ‘Mengapa saya harus membuat hidup saya sengsara, seperti hidup Anda?’”
Masalah gender diperparah oleh kekeringan selama 15 tahun. Bencana itu telah mengeringkan banyak sungai dan danau utama. Pada akhirnya, juga membuat para masyarakat nomaden mengalami kesulitan menemukan air untuk kawanan ternak. Meningkatnya pembangunan pun menciptakan pagar, jalan, dan bendungan yang kini menghalangi jalan.
Di tepi Kota Lali, tempat banyak mantan masyarakat nomaden Bakhtiari berakhir di tempat tinggal sederhana. Misalnya, Mehdi Ghafari dan temannya Aidi Shams berbagi pipa air di sana. Matahari terbenam saat mereka mengenang masa lalu mereka sebagai masyarakat nomaden. Istri mereka kini lebih bahagia, mereka mengakui, dan anak-anak mereka bersekolah.
“Tidak ada cara lain selain menyesuaikan diri,” kata Ghafari.
Salah satu orang terakhir di gunung itu, Nejat Ghanbari, suami Bibi Naz yang berusia 76 tahun, bersikeras bahwa para masyarakat nomaden berasal dari raja-raja Iran pra-Islam.
“Kami adalah keturunan Kourosh Kabir yang agung,” katanya, yang berarti raja Persia legendaris Cyrus Agung atau the Great Cyrus. Cyrus Agung memerintah Kekaisaran Persia sekitar tahun 550 SM.
Sekarang Nejat dan istrinya adalah yang terakhir. “Dan saat kami meninggal, ini akan menjadi akhir bagi kami. Saya sedih menyadari hal ini.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR