Nationalgeographic.co.id–Ketika kehidupan modern memikat satu generasi ke kota, beberapa yang tertinggal berjuang melawan kekeringan dan badai debu. Yang masih tersisa pun bertanya-tanya: Kehidupan macam apa ini? Hal ini terjadi pada masyarakat nomaden Iran. Seiring dengan berjalannya waktu, kelompok mereka pun mulai menghilang.
Puncak pegunungan Zagros masih tertutup salju. Jalan yang panjang dan berkelok-kelok membentang di atas lembah dan lereng di Iran barat. Jalan-jalan itu adalah jalan kuno yang dilalui kaki selama ribuan tahun dalam gerakan migrasi yang terus berulang.
Saat ini, mobil dan truk sewaan, bukan kuda, membawa para masyarakat nomaden Iran yang tersisa. Dengan kendaraan, mereka membawa kawanan ternak mereka ke padang rumput musim panas di dataran tinggi Iran dekat kota Chelgard. Mereka tidak lagi melakukan pendakian sepanjang hari untuk mendapatkan berita dari pusat komunikasi pengembara. Sebaliknya, anggota suku Bakhtiari setempat membawa ponsel dan mengeluh tentang penerimaan sinyal yang buruk.
“Masyarakat nomaden Iran telah melakukan migrasi yang sama selama ribuan tahun,” tulis Thomas Erdbrink di laman National Geographic.
Pada musim semi, mereka menuju padang rumput Zagros yang lebih sejuk. Di sana, rumput untuk kawanan domba dan kambing mereka melimpah. Pada akhir musim gugur, mereka akan kembali ke Provinsi Khuzestan yang kaya minyak di Iran. Mereka kembali dengan hewan-hewan yang kuat dan cukup makan untuk melewati musim dingin.
Lebih dari satu juta pengembara Iran telah lama menolak modernitas melalui keterasingan yang menyertai gaya hidup mereka. Tradisi yang kuat dan patriarki juga telah menghalangi perubahan. Namun, kombinasi kekeringan yang terus-menerus, badai debu, dan urbanisasi yang meluas pun membuat jumlah mereka menyusut. Internet dan penyebaran pendidikan tinggi juga turut andil.
Masih ada pasangan-pasangan tua yang masih mendirikan tenda di sisi Zagros. Mereka mengakui bahwa mereka mungkin menjadi babak terakhir dalam sejarah salah satu komunitas pengembara terbesar yang tersisa di Bumi.
Di kejauhan, badai petir mulai terjadi saat sepasang suami istri berkerumun di tenda mereka. Awan gelap melayang di atas lembah, menumpahkan garis-garis abu-abu hujan. Bibi Naz Ghanbari, 73 tahun, dan suaminya, Nejat, mendirikan tenda hitam. Tenda itu berdiri di tempat yang sama tempat keluarga mereka bermigrasi selama 200 tahun. Dulu ada puluhan anggota keluarga di sekitar sana. Kini hanya ada satu tenda lagi, rumah bagi sepupu jauh.
Pasangan itu mengatakan bahwa musim semi yang dingin dan hujan yang tak terduga telah menusuk tulang mereka. Di saat yang sama, mereka berhasil menyelamatkan tenda dua kali saat badai. Mereka telah bermigrasi lebih awal. Tujuannya adalah untuk memastikan ternak dapat merumput di rumput musim semi, setelah musim dingin yang hampir tidak ada hujan. Tak satu pun dari delapan anak mereka bergabung dengan pasangan itu. Baterai di ponsel Bibi Naz Ghanbari kehabisan daya, jadi dia bahkan tidak dapat menghubungi mereka.
“Mereka semua sekarang tinggal di kota. Apa gunanya mereka?” katanya tentang anak-anaknya. Anak-anak keluarga itu telah menjual ternak dan tinggal di rumah. “Hidup macam apa ini?” tanyanya, sambil menunjuk lubang-lubang di tenda. “Kami harus tidur di bawah tiga selimut tadi malam dan cuaca masih dingin. Saya juga berharap bisa tinggal di rumah.”
Karena jumlah masyarakat nomaden telah menurun, pendukung terkuat untuk hidup menetap adalah kaum wanita nomaden. Hidup mereka sulit, dan mereka menyadari hal itu.
Baca Juga: Ironis! Konflik Ancam Keberadaan Situs-Situs Warisan Budaya Iran Ini
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR