“Dari berbagai pemaparan dan diskusi selama lokakarya, saya jadi semakin paham bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan atau ekosistem, tetapi juga pada manusia, kebudayaan, dan struktur sosial kita," ujar Cipoy, gitaris Sukatani.
"Sebagai musisi yang hidup dan berkarya di ruang-ruang sosial dan budaya, kami pun ikut terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk turut merespons isu ini, karena pada akhirnya, perubahan iklim juga memengaruhi kami secara langsung, baik sebagai individu maupun sebagai seniman,” tambahnya.
Sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, kegiatan ini ditutup dengan penanaman pohon di Gianyar, Bali. Inisiatif ini menjadi langkah kolektif para musisi untuk mengimbangi jejak emisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan dan rangkaian aktivitas selama seminggu penuh.
Bagi Faiz, vokalis, gitaris, sekaligus penulis lagu dari band Reality Club, pengalaman selama lokakarya ini tak hanya menginspirasi karya, tetapi juga memantik refleksi personal yang mendalam.
“Setelah mendapat banyak hard truth selama lokakarya, saya merasa terdorong untuk mulai mengubah hal-hal dalam hidup saya secara perlahan tapi konsisten. Saya juga ingin membagikan kesadaran ini ke orang-orang di sekitar saya, seperti fans, teman, dan keluarga, karena penting untuk saling mengingatkan soal peran kita dalam menjaga lingkungan,” tuturnya.
Setelah lokakarya berakhir, para musisi akan menerjemahkan pengalaman dan refleksi mereka selama lokakarya ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dihimpun dalam sebuah album kompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025, sebagai bagian dari kampanye ‘No Music On A Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yang Mati yang diinisiasi oleh Music Declares Emergency.
Gerakan global ini juga didukung oleh sejumlah musisi dunia seperti Billie Eilish, Massive Attack, dan Tame Impala. Mereka semua sama-sama meyakini bahwa musik memiliki kekuatan untuk menyuarakan urgensi krisis iklim dengan cara yang kreatif, inklusif, dan menggugah.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR