Nationalgeographic.co.id–Kerusakan lingkungan di Indonesia makin berat. Ancaman krisis iklim pun kian gawat. Demi menyerukan kedaruratan lingkungan, 15 musisi dari berbagai daerah dan genre musik berkumpul di Ubud, Bali, untuk mengikuti rangkaian lokakarya khusus yang diselenggarakan oleh The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab (IKLIM).
Lokakarya ini antara lain diikuti oleh Kunto Aji, Reality Club, dan Sukatani. Selain itu, ada juga Ave The Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Majelis Lidah Berduri, Manja, Peach, Scaller, The Brandals, The Melting Minds, Teddy Adhitya, dan Usman and The Black Stones.
Dalam rangkaian lokakarya yang digelar selama lima hari ini, para musisi tersebut mendalami berbagai isu tentang krisis iklim serta kaitannya dengan musik, kreativitas, dan refleksi pribadi. Lebih jauh, mereka juga membahas akar penyebab krisis iklim, peran seni dan budaya dalam mendorong aksi, serta merumuskan langkah kolaboratif untuk mendorong perubahan nyata.
Bersama-sama, mereka terlibat dalam diskusi dan kolaborasi artistik yang membahas berbagai isu lingkungan yang mendesak. Seperti ancaman terhadap kawasan Raja Ampat yang memicu gerakan #SaveRajaAmpat, ekspansi pertambangan nikel di Morowali, deforestasi, hingga ketergantungan yang masih tinggi dari Indonesia terhadap batu bara.
Gerakan IKLIM sendiri telah berjalan sejak 2023 dan hingga kini telah melibatkan 43 musisi. Sejumlah musisi yang sebelumnya terlibat dalam album sonic/panic dan gerakan IKLIM pada 2023 dan 2024, kembali berkontribusi pada tahun ini sebagai fasilitator dalam berbagai sesi dan membagikan pengalaman pribadi mereka terlibat dalam IKLIM.
Mereka yang kembali hadir adalah Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Iga Massardi, Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa, Petra Sihombing, Tuantigabelas, Stephanus Adjie dari Down For Life, Farid Stevy dari FSTVLST, Nova Ruth, serta Gede Robi dari Navicula. Robi sendiri juga merupakan co-founder gerakan IKLIM.
Kehadiran mereka semua memperkaya proses pembelajaran lintas generasi dan memperkuat semangat kolaboratif dalam menjawab tantangan krisis iklim melalui musik dan seni.
Bagi penyanyi dan penulis lagu ternama Kunto Aji, isu iklim memiliki resonansi yang kuat secara personal. “Saya tinggal di Tangerang Selatan, dan setiap hari harus menghadapi kualitas udara yang buruk. Saya punya dua anak kecil, dan saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak, lebih baik dari yang mereka hirup hari ini,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan tertulis IKLIM.
“Udara itu kan gratis, tapi kenapa kita nggak bisa menikmatinya dengan baik? Kita tahu penyebab dan solusinya, tapi tidak ada tindakan nyata. Di situlah saya merasa perlu bertanya: sebagai musisi, apa yang bisa saya lakukan?” imbuhnya.
Di tengah krisis iklim yang kian kompleks, musik dan seni memainkan peran penting dalam membangun kesadaran dan mendorong aksi publik. Didampingi para pakar dari berbagai organisasi iklim, para musisi belajar bersama tentang isu lingkungan seperti energi, hutan, laut, hingga ruang hidup komunitas adat.
“Dari berbagai pemaparan dan diskusi selama lokakarya, saya jadi semakin paham bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan atau ekosistem, tetapi juga pada manusia, kebudayaan, dan struktur sosial kita," ujar Cipoy, gitaris Sukatani.
"Sebagai musisi yang hidup dan berkarya di ruang-ruang sosial dan budaya, kami pun ikut terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk turut merespons isu ini, karena pada akhirnya, perubahan iklim juga memengaruhi kami secara langsung, baik sebagai individu maupun sebagai seniman,” tambahnya.
Sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, kegiatan ini ditutup dengan penanaman pohon di Gianyar, Bali. Inisiatif ini menjadi langkah kolektif para musisi untuk mengimbangi jejak emisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan dan rangkaian aktivitas selama seminggu penuh.
Bagi Faiz, vokalis, gitaris, sekaligus penulis lagu dari band Reality Club, pengalaman selama lokakarya ini tak hanya menginspirasi karya, tetapi juga memantik refleksi personal yang mendalam.
“Setelah mendapat banyak hard truth selama lokakarya, saya merasa terdorong untuk mulai mengubah hal-hal dalam hidup saya secara perlahan tapi konsisten. Saya juga ingin membagikan kesadaran ini ke orang-orang di sekitar saya, seperti fans, teman, dan keluarga, karena penting untuk saling mengingatkan soal peran kita dalam menjaga lingkungan,” tuturnya.
Setelah lokakarya berakhir, para musisi akan menerjemahkan pengalaman dan refleksi mereka selama lokakarya ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dihimpun dalam sebuah album kompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025, sebagai bagian dari kampanye ‘No Music On A Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yang Mati yang diinisiasi oleh Music Declares Emergency.
Gerakan global ini juga didukung oleh sejumlah musisi dunia seperti Billie Eilish, Massive Attack, dan Tame Impala. Mereka semua sama-sama meyakini bahwa musik memiliki kekuatan untuk menyuarakan urgensi krisis iklim dengan cara yang kreatif, inklusif, dan menggugah.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR