"Bukti yang kami temukan berasal dari bagian dalam gua yang sangat jauh," ujar Sarah Hlubik, paleoantropolog dan peneliti postdoktoral di George Washington University.
"Kebakaran alami di permukaan lanskap tidak akan mencapai sejauh itu ke dalam." Dengan kata lain, kemungkinan besar data ini bukan kebetulan, meskipun lokasinya terpencil dalam ruang dan waktu.
Meskipun Wonderwerk dianggap sebagai situs tertua yang diakui luas sebagai bukti penggunaan api oleh manusia, secara teori penggunaan api seharusnya sudah terjadi jauh lebih awal.
Sekitar 2 juta tahun yang lalu, saluran pencernaan Homo erectus mulai mengecil, yang mengindikasikan bahwa proses memasak — seperti merebus atau memanggang — mungkin telah membantu mempercepat pencernaan makanan. Di saat yang sama, otak mereka mulai membesar — organ yang memerlukan energi sangat besar.
"Kalau bukan dari memasak dengan api, dari mana lagi energi sebanyak itu bisa didapatkan?" ujar Tattersall, merujuk pada praktik memasak daging dan sayuran.
Untuk mendukung teori tersebut, Hlubik kini meneliti jejak api purba yang dikendalikan manusia di Koobi Fora, wilayah di Kenya utara yang kaya dengan peninggalan paleoantropologis berusia sekitar 1,6 juta tahun.
Ia telah menemukan tulang terbakar yang berkelompok dengan artefak lainnya. Sedangkan sedimen terbakar ditemukan dalam kelompok yang terpisah, yang mengindikasikan adanya area khusus untuk menjaga api dan area lain tempat manusia purba beraktivitas.
“Sampai pada titik ini, saya cukup yakin untuk mengatakan, ‘Ya, api memang digunakan oleh manusia di situs ini,’” ujar Hlubik. “Tahap penelitian selanjutnya adalah mencari tahu, ‘Berapa banyak situs lain di wilayah ini yang juga menunjukkan bukti penggunaan api?’”
Namun tidak semua ilmuwan sependapat dengan Hlubik. Api yang ditemukan di situs tersebut mungkin bukan dibuat oleh manusia, melainkan berasal dari kebakaran semak alami yang terjadi secara kebetulan.
Apa pun waktu pastinya, kemampuan manusia untuk mengendalikan api liar atau menciptakan api sendiri memberikan dampak besar terhadap evolusi spesies kita.
Api diyakini memperpanjang harapan hidup, memperkuat interaksi sosial dengan menciptakan ruang berkumpul, serta — bersama penemuan pakaian — memungkinkan manusia menetap di wilayah beriklim dingin.
Penggunaan api juga kemungkinan besar meningkatkan kemampuan kognitif manusia, tambah Hlubik.
“Manfaat penggunaan api memperkuat kemampuan berpikir yang telah berkembang sebelumnya, dan menciptakan dorongan untuk kemajuan berikutnya.
Karena, api itu rumit,” ujarnya. “Kalau tidak digunakan dengan benar, kamu bisa terluka parah.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR