Nationalgeographic.co.id–Kemampuan manusia menguasai api diyakini sebagai salah satu titik balik terpenting dalam evolusi—mendorong perkembangan otak besar, gaya hidup sosial, hingga kemampuan bertahan di iklim dingin.
Para ilmuwan menduga, tanpa kemampuan mengendalikan api, manusia mungkin tidak akan pernah mengembangkan ukuran otak besar beserta manfaat-manfaat yang menyertainya.
Namun, kapan tepatnya manusia pertama kali menemukan cara menggunakan api?
Jawabannya masih menjadi teka-teki ilmiah, dengan bukti yang tersebar dari 1 juta hingga 400 ribu tahun lalu, dan sebagian peneliti meyakini jejaknya bisa jadi lebih tua dari itu.
"Itu pertanyaan yang rumit," kata Ian Tattersall, paleoantropolog dan kurator emeritus asal-usul manusia di American Museum of Natural History, New York.
"Bisa jadi, bukti penggunaan api tidak terawetkan dengan baik, dan yang kita temukan sekarang hanyalah sisa-sisa dari catatan yang dulunya jauh lebih kaya. Tapi sekali lagi, itu hanya dugaan. Kita tidak tahu pasti."
Yang diketahui para ahli adalah, sekitar 400.000 tahun yang lalu, jejak penggunaan api mulai muncul lebih sering dalam catatan arkeologis di wilayah Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia, menurut ulasan yang dipublikasikan di jurnal Philosophical Transactions of the Royal Society B.
Meskipun situs dengan bukti nyata masih jarang, kebanyakan ahli sepakat bahwa pada periode tersebut, penggunaan api sudah mulai tersebar luas.
Namun, menurut Tattersall, ada setidaknya dua situs terpencil yang menunjukkan bahwa manusia lebih awal sudah menggunakan api, bahkan jauh sebelum 400.000 tahun yang lalu.
Di salah satu situs di Palestina yang diperkirakan berusia sekitar 800.000 tahun, para arkeolog menemukan perapian, batu api, dan potongan kayu yang hangus, seperti dilaporkan dalam studi tahun 2012 di jurnal Science.
Di situs lainnya, yaitu Gua Wonderwerk di Afrika Selatan, para ilmuwan menemukan bukti penggunaan api yang berusia sekitar 1 juta tahun, sebagaimana dilaporkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Di dalam gua itu, mereka menemukan sisa-sisa tulang dan tanaman yang terbakar serta kemungkinan struktur perapian.
Baca Juga: Mempelajari dan Mengungkap Peran Api dalam Evolusi Manusia pada Zaman Es
"Bukti yang kami temukan berasal dari bagian dalam gua yang sangat jauh," ujar Sarah Hlubik, paleoantropolog dan peneliti postdoktoral di George Washington University.
"Kebakaran alami di permukaan lanskap tidak akan mencapai sejauh itu ke dalam." Dengan kata lain, kemungkinan besar data ini bukan kebetulan, meskipun lokasinya terpencil dalam ruang dan waktu.
Meskipun Wonderwerk dianggap sebagai situs tertua yang diakui luas sebagai bukti penggunaan api oleh manusia, secara teori penggunaan api seharusnya sudah terjadi jauh lebih awal.
Sekitar 2 juta tahun yang lalu, saluran pencernaan Homo erectus mulai mengecil, yang mengindikasikan bahwa proses memasak — seperti merebus atau memanggang — mungkin telah membantu mempercepat pencernaan makanan. Di saat yang sama, otak mereka mulai membesar — organ yang memerlukan energi sangat besar.
"Kalau bukan dari memasak dengan api, dari mana lagi energi sebanyak itu bisa didapatkan?" ujar Tattersall, merujuk pada praktik memasak daging dan sayuran.
Untuk mendukung teori tersebut, Hlubik kini meneliti jejak api purba yang dikendalikan manusia di Koobi Fora, wilayah di Kenya utara yang kaya dengan peninggalan paleoantropologis berusia sekitar 1,6 juta tahun.
Ia telah menemukan tulang terbakar yang berkelompok dengan artefak lainnya. Sedangkan sedimen terbakar ditemukan dalam kelompok yang terpisah, yang mengindikasikan adanya area khusus untuk menjaga api dan area lain tempat manusia purba beraktivitas.
“Sampai pada titik ini, saya cukup yakin untuk mengatakan, ‘Ya, api memang digunakan oleh manusia di situs ini,’” ujar Hlubik. “Tahap penelitian selanjutnya adalah mencari tahu, ‘Berapa banyak situs lain di wilayah ini yang juga menunjukkan bukti penggunaan api?’”
Namun tidak semua ilmuwan sependapat dengan Hlubik. Api yang ditemukan di situs tersebut mungkin bukan dibuat oleh manusia, melainkan berasal dari kebakaran semak alami yang terjadi secara kebetulan.
Apa pun waktu pastinya, kemampuan manusia untuk mengendalikan api liar atau menciptakan api sendiri memberikan dampak besar terhadap evolusi spesies kita.
Api diyakini memperpanjang harapan hidup, memperkuat interaksi sosial dengan menciptakan ruang berkumpul, serta — bersama penemuan pakaian — memungkinkan manusia menetap di wilayah beriklim dingin.
Penggunaan api juga kemungkinan besar meningkatkan kemampuan kognitif manusia, tambah Hlubik.
“Manfaat penggunaan api memperkuat kemampuan berpikir yang telah berkembang sebelumnya, dan menciptakan dorongan untuk kemajuan berikutnya.
Karena, api itu rumit,” ujarnya. “Kalau tidak digunakan dengan benar, kamu bisa terluka parah.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR