Nationalgeographic.co.id—Fenomena viral anomali brain rot yang ramai beredar di media sosial seperti TikTok mulai menjadi perhatian bagi kalangan akademisi. Salah satunya adalah Melly Latifah, dosen dari Divisi Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University.
Menurut Melly, di balik kelucuan konten absurd—seperti manusia berwujud pentungan kayu (tung-tung tung sahur), hiu memakai sepatu, atau cappuccino berkepala balerina—, tersembunyi potensi dampak serius terhadap perkembangan anak dan remaja.
Melly menjelaskan, pada anak usia dini—yang masih berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget—, konten absurd tersebut berisiko mengacaukan pemahaman terhadap realitas.
“Anak-anak belum mampu membedakan fantasi dan kenyataan. Visual yang ‘hiper-absurd’ dapat memicu pelepasan dopamin secara berlebihan, yang berdampak pada fokus dan emosi,” paparnya seperti dilansir laman IPB University. Selain itu, narasi yang tidak koheren dapat menghambat pemahaman struktur bahasa anak.
Sementara itu, pada kalangan remaja, paparan konten absurd secara terus-menerus dapat membentuk pola pikir tidak logis. “Paparan berlebihan menguatkan pola pikir ‘semakin tidak masuk akal, semakin menarik’. Ini mengurangi kemampuan berpikir sistematis,” imbuhnya.
Melly menambahkan bahwa konten semacam ini juga dapat mengikis empati karena sering kali menghilangkan konteks emosional dari suatu peristiwa.
Meski demikian, menurut Melly, konten absurd tidak sepenuhnya berbahaya jika dikelola dengan pendekatan yang tepat. Ia menyebut bahwa dalam kondisi tertentu, konten seperti ini dapat merangsang kreativitas dan fleksibilitas berpikir.
“Bagi balita, orang tua harus memberi penjelasan. Katakan saja, ‘Ini hanya khayalan AI (artificial intelligence) semata. Dalam dunia nyata, ikan hiu tidak memakai sepatu’,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa untuk remaja, konten ini justru bisa menjadi sarana melatih kemampuan mengenali pola atau pattern recognition. “Konten absurd menciptakan semacam ‘cognitive playground’ yang melatih deteksi anomali, keterampilan yang sangat penting di era banjir informasi saat ini,” ungkapnya.
Untuk melindungi anak dari dampak negatif yang ditimbulkan, Melly menyarankan enam langkah yang dapat dilakukan orang tua. Pertama, bangun literasi digital. Orang tua perlu menjelaskan bahwa konten AI seperti mimpi aneh, bukan realitas.
“Kedua, batasi akses. Aktifkan restricted mode, dengan membatasi durasi misalnya 5 menit per hari, dan hindari penggunaan gawai satu jam sebelum tidur,” ucapnya.
Baca Juga: Ragil 'Kang Guru IPA': Jadi Kreator Konten Ilmiah Lewat Alat-alat Sederhana
Ketiga, ia melanjutkan, ubah konsumsi pasif jadi aktif. Ajak anak menganalisis konten absurd. Misalnya, “Sebutkan tiga hal tidak masuk akal di video ini!”
Keempat, latih cognitive anchoring. Hubungkan konten absurd dengan fakta, seperti, “Hiu tidak berkaki, kan?”
Kelima, edukasi bahaya absurditas. Jelaskan bahwa konsumsi berlebihan bisa mengubah jalur saraf, layaknya makan permen secara terus-menerus.
Keenam, lakukan digital detox. Melly mengatakan, apabila konsumsi sudah tak terkendali, matikan internet selama 3–7 hari dan ganti dengan aktivitas fisik atau sosial langsung.
Dampak Brain Rot bagi Anak
Istilah brain rot sendiri mencerminkan kondisi psikologis akibat gaya hidup digital masa kini yang dipenuhi scrolling tanpa henti, menonton secara maraton, dan multitasking.
Kata Melly, “Perilaku ini menyebabkan cognitive overload, kelelahan mental, dan berkurangnya fokus. Paparan berlebihan terhadap video berdurasi pendek mengubah preferensi otak terhadap stimulasi cepat.”
Karena itu, ia menambahkan, penting bagi orang tua mengenali gejala awal brain rot. Gangguan ini dapat muncul dalam bentuk kognitif, bahasa, emosi, maupun sosial.
“Anak bisa sulit konsentrasi, sering lupa instruksi sederhana, bicaranya patah-patah, atau kosakatanya menyusut. Secara emosional, mereka bisa tertawa histeris saat online tetapi datar ketika diajak bicara. Ada juga yang marah ketika gadget diambil,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa setiap usia menunjukkan gejala berbeda. “Balita mungkin meniru gerakan absurd yang mereka lihat. Anak usia SD bisa mengalami penurunan nilai drastis. Sementara remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa meme,” pungkasnya.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR