Nationalgeographic.co.id—Manisnya madu kelulut berpadu dengan segarnya sentuhan asam dan gelembung soda yang menggelitik lidah. Rasa itu memenuhi rongga mulut dari secangkir kecil yang baru saja dituang dari botol mungil.
Madu istimewa ini disuguhkan di sebuah gubuk kayu sederhana, berdiri kokoh di samping kotak-kotak sarang lebah penghasilnya. Di sanalah, Amirudin, sang pemilik peternakan lebah, berbagi kisah inspiratifnya. Usaha madu kelulut ini, katanya, berawal dari uluran tangan program Chainsaw Buyback.
Program ini, sebuah inisiatif dari Yayasan ASRI yang dimulai sejak 2017, hadir sebagai mercusuar harapan untuk mencegah laju deforestasi, khususnya di kawasan Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat.
Lingkaran setan kemiskinan seringkali memaksa masyarakat sekitar hutan untuk mencari nafkah sebagai pekerja hutan ilegal. Sebuah pekerjaan yang penuh risiko, mulai dari ancaman jeruji besi, bahaya kecelakaan, hingga penyakit yang mengintai di belantara.
Lebih dari itu, aktivitas ini merenggut keanekaragaman hayati, melenyapkan habitat, dan pada akhirnya, turut menyumbang pada krisis iklim global.
Menyadari urgensi ini, Chainsaw Buyback menargetkan mereka yang hidupnya bergantung pada hutan untuk beralih profesi, sembari menjaga kelestarian alam.
Para peserta program berasal dari desa-desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Palung. Target program ini adalah untuk mengubah mata pencarian dari aktivitas pengambilan kayu menjadi wirausaha lainnya.
Program ini menawarkan lebih dari sekadar harapan. Gergaji mesin yang menjadi alat mata pencarian masa lalu akan dibeli seharga Rp4 juta bagi mereka yang aktif dalam empat bulan terakhir, dan Rp3 juta untuk yang musiman.
Tak hanya itu, para mantan pekerja hutan juga berhak mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp6 juta, yang dapat dicicil selama dua tahun. Sistem cicilan ini juga memungkinkan Yayasan ASRI untuk memantau perkembangan usaha baru setiap bulannya. Bahkan, setelah pinjaman awal lunas, mereka bisa mengajukan pinjaman kembali.
Uniknya, pinjaman bahkan bisa dibayar dengan bibit pohon berjenis kayu keras, sebuah simbol nyata dari komitmen terhadap penghijauan kembali. Pengawasan ketat juga dilakukan untuk memastikan pinjaman dimanfaatkan dengan baik, bukan sekadar pemberian cuma-cuma.
Baca Juga: Kala Pohon Jadi Mata Uang: Inovasi Kesehatan Penyelamat Hutan Kalimantan
KOMENTAR