Penulis: Nadya Adriane Pattiasina
Tidak ada cara yang mudah untuk meraih sebuah kesuksesan.
Hal ini dirasakan benar oleh Mathilda Dwi Lestari (24) dan Fransiska Dimitri Inkiriwang (24), saat melakukan pendakian menuju puncak Everest (8.850 mdpl) dari sisi Tibet melalui jalur utara.
Baca juga: 5 Negara dengan Waktu Puasa Tersingkat, Tidak Lebih dari 12 Jam
Bagi mereka, Everest adalah gunung pamungkas, bila dibandingkan dengan pendakian di 6 puncak tertinggi—Carstensz Pyramid (Papua), Elbrus (Rusia), Kilimanjaro (Tanzania), Aconcagua (Argentina), Vinson Massif (Antartika), dan Denali (AS)—pada 6 lempeng benua yang mereka mulai sejak 2014.
Menuju puncak (summit attempt) dari Camp 3 (8.225 mdpl), dan kembali ke Advance Basecamp, tim menghabiskan 22 jam perjalanan. Tim WISSEMU memulai langkah dari Camp 3 pada 17 Mei 2018 pukul 23.30 waktu setempat, dan berhasil mencapai puncak setelah berjalan kurang lebih selama 6,5 jam, pada pukul 05.50 waktu setempat.
Setelah memandang keagungan Tuhan dari puncak tertinggi di dunia, Tim WISSEMU langsung berjalan turun dan tiba di Advanced Basecamp (ABC) pada pukul 22.00 waktu setempat—setelah menempuh kurang lebih 16 jam perjalanan.
Setelah beristirahat sehari penuh, pada tanggal 19 Mei 2018 mereka kembali melakukan perjalanan dan pada hari ini sudah berada di Everest Base Camp sisi utara.
Perjalanan menggapai atap langit ini tentu bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Meninggalkan Indonesia sejak 29 Maret 2018 silam, Tim WISSEMU menghabiskan satu setengah bulan di Nepal dan Tibet. Bila tidak ada halangan yang berarti, mereka akan kembali ke Indonesia pada tanggal 1 Juni 2018.
Baca juga: Karena UFO, NASA Ajak Pria Asal Surabaya Ikuti Pelatihan Hidup di Mars
Dengan dicapainya Everest sebagai puncak terakhir, dua perempuan tangguh ini menetapkan diri sebagai Seven Summiteers pertama di Asia Tenggara versi Reinhold Messner, yang memasukkan Carstensz sebagai salah satu dari 7 gunung tertinggi di 7 lempeng benua.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR