Penulis: Tatik Hidayati/The Conversation
Tiadanya batasan yang definitif tentang usia minimal boleh nikah dalam hukum Islam, kerap dijadikan legitimasi oleh orang tua di Indonesia untuk menikahkan anak perempuan di bawah 16 tahun. Dampaknya di negeri ini, satu dari lima perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.
Survei UNICEF menunjukkan bahwa tradisi, agama, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakamanan karena konflik adalah alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak-anak di Indonesia. Secara struktural, advokasi untuk menaikkan batasan minimal usia nikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun menemui tembok buntu karena hakim Mahkamah Konstitusi cenderung konservatif.
Perkawinan anak-anak tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tapi juga terjadi Madura, daerah yang memiliki tingkat kawin anak-anak tinggi di wilayah Jawa Timur. Di Sampang terdapat 17,47% kasus kawin anak, Pamekasan 19,39%, dan Sumenep 41,72%. Dari 9.000 pernikahan per tahun di Sumenep, lebih 60% adalah praktik kawin anak.
Baca juga: Pahami 'Rambu-rambu' Agar Pertemanan Tak Rusak Karena 'Politik Kantor'
Kawin anak merupakan tradisi buruk yang dianggap masyarakat harus diikuti oleh anak-anak perempuan di daerah ini sehingga mereka tidak boleh menolak. Orang tua akan menanggung aib jika mereka menolak perkawinan yang sudah diinginkan oleh orang tuanya. Keadaan ini diperburuk oleh budaya bahwa orang tua akan malu jika anak perempuannya sudah praban (gadis) tapi belum mendapatkan jodoh.
Anak-anak perempuan tidak hanya menerima pernikahan ini, tapi mereka juga melawan dengan berbagai cara untuk mengakhiri ikatan pernikahan.
Dalam riset saya di Kecamatan Dungkek Sumenep pada 2017 dengan data dari 25 informan yang menikah saat masih anak-anak menunjukkan hampir semua yang menjadi pengantin muda tersebut berakhir dengan perceraian. Mereka menikah pertama kali pada usia 7-15 tahun, baik secara bawah tangan (siri) maupun yang dicatatkan di pemerintah.
Anak-anak perempuan di kecamatan tersebut terpaksa menerima pernikahan anak, dengan berbagai alasan, baik yang diramaikan dengan pesta ngala’ tumpangan atau hanya selamatan.
Terungkap bahwa motif utama orang tua menikahkan anak-anak adalah ngala’ tumpangan, tradisi mengambil kembali sumbangan (dalam bentuk uang dan kebutuhan pokok seperti beras) yang sudah diberikan kepada saudara dan tetangga yang lebih dulu menggelar pesta pernikahan. Uang sumbangan yang didapat dari satu pesta nikah ini berkisar Rp 100-200 juta. Adapun orang biasanya menyumbang mulai ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Anak-anak dijadikan sebagai pengantin dalam hajatan tersebut untuk menarik kembali dana sumbangan yang telah dikeluarkan oleh orang tuanya. Ini terjadi karena orang tua begitu dominan dalam proses pengambilan keputusan untuk anak-anaknya.
Lalu apa alasan anak-anak menerima pernikahan yang tidak diinginkan tersebut? Setidaknya tiga alasan yang terungkap dari riset ini:
Pertama, bagi yang sudah memahami tentang pernikahan, mereka terpaksa menerima pernikahan dini karena menuruti kehendak orang tua atau neneknya. Bagi pengantin yang masih sangat belia, mereka menerima karena ketidaktahuan tentang pernikahan. Mereka hanya tahu bahwa saat dinikahkan semua keinginannya dipenuhi oleh orang tuanya.
Informan berusia 20 tahun, yang dinikahkan pada usia 7 tahun bercerita:
“Saya dulu mau dimantenin karena senang saja seperti jadi ratu. (Saya) didandani, duduk di pelaminan, dan minta apa saja pasti dikasih. Meski orang tua saya sudah banyak mengeluarkan banyak uang untuk pesta pernikahan tersebut, tapi saya tidak merasa bersalah karena pesta nikah itu untuk menarik barang (dan uang) dari luar (orang lain). Bahwa akhirnya cerai, ya mungkin itu bukan jodoh saya.”
Informan lainnya, yang dikawinkan pada usia 7 tahun, terpaksa mau menikah karena keinginannya neneknya. Rupanya, calon suaminya masih keluarga jauh dan neneknya ingin hartanya tidak jatuh ke orang lain.
Kedua, membahagiakan orang tua mereka dengan menjadi pengantin untuk menarik sumbangan yang telah diberikan kepada banyak orang di kampungnya. Kesediaan mereka menjadi menjadi pengantin dalam pesta ngala’ tumpangan, karena menyelamatkan muka orang tua.
Ketiga, mereka bersedia dinikahkan karena mereka menyadari bahwa pernikahan ini hanya formalitas dan mereka dapat mengakhiri pernikahan itu setelah pesta pernikahan. Mereka menjadi pengantin dengan berpura-pura menikmati pesta ngala’ tumpangan.
Pola relasi kuasa yang timpang antara anak-anak dan orang tua melahirkan “pemberontakan”. Perlawanan, sebagaimana diungkapkan oleh James Scott, diwujudkan dalam dua tataran yakni (1) public trancript, di depan banyak orang anak perempuan menerima dominasi dari pihak yang kuat (orang tua dan suami), dan (2) hidden transcript, di luar “panggung” anak perempuan melawan secara diam-diam atau tersembunyi terhadap pihak yang kuat.
Perempuan yang nikah dini ini lebih banyak melawan secara diam-diam.
Bentuk perlawanan ini tidak selalu menentang nilai budaya dan agama yang berkembang di masyarakat Madura. Seperti ditunjukkan penelitian Siti Kusujiarti, perempuan menjalani tradisi yang tidak mereka inginkan, tapi mereka senantiasa melawan secara tersembunyi dalam bentuk perkataan dan praktik seperti desas desus, gosip, dan cerita yang dilakukan oleh perempuan.
Bentuk-bentuk perlawanan terhadap perkawinan anak, setelah mereka dinikahkan dengan paksa, adalah bercerai. Menurut pengakuan mereka, pihak yang menginginkan untuk bercerai adalah dari pihak perempuan. Mereka tidak mencintai suaminya karena pernikahan itu keinginan sepihak orang tuanya dan keluarga besan yang sebelumnya sudah menjalin komitmen bersama untuk menikahkan anak-anak mereka. Perlawanan itu diekspresikan dalam beberapa bentuk:
Pertama, pernikahan tetap dijaga sampai mempunyai anak. Mereka menjalaninya dengan menunjukkan ekspresi penolakan melalui pertengkaran rumah tangga yang mereka tunjukkan sebagai bentuk ketidakcocokan. Ini sengaja dilakukan oleh anak perempuan supaya suaminya segera menceraikannya. Mereka ingin segera keluar dari belenggu pernikahan yang dipaksakan.
Kedua, mencintai laki-laki lain sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan. Sikap ini merupakan sebuah keberanian anak perempuan dalam mengekspresikan keinginan mereka. Seolah mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai pilihan sendiri yang akan membuat hidupnya bahagia. Ungkapan ini terkadang tidak dalam bentuk ucapan, tapi sikap yang dipendam dan tetap memberontak.
Seorang informan, misalnya, membuat surat kepada suaminya yang isinya dia mencintai laki-laki lain dan meminta suaminya menceraikannya. Akhirnya keinginannya terkabul, keluarga suami datang dan mengurus perceraian. Akibatnya, orang tuanya marah besar, karena menganggap perempuan yang meminta cerai adalah suatu aib.
Ketiga, setelah pesta nikah usai, anak-anak perempuan ini dengan sengaja tidak mau melayani hubungan seksual yang diminta oleh suaminya. Bahkan ada yang mengatakan dia akan tetap berlaku seperti itu sampai laki-laki yang bukan pilihannya itu tidak tahan dan akhirnya menceraikannya. Biasanya orang tua mereka mencoba memberi pengertian supaya dia melayani suaminya.
Melayani suami adalah sebuah pemahaman yang sulit diterima oleh anak-anak. Mengapa ia harus melayani seseorang yang tidak ia sukai, bahkan tidak ia kenal sebelumnya. Pengetahuan tentang kewajiban suami istri memang tidak pernah ia peroleh sebelumnya.
Keempat, pergi dari rumah setelah acara pernikahan. Sebagian mereka kabur ke rumah neneknya karena anak tidak punya pilihan lain untuk menghindar dari perkawinan yang dipaksakan tersebut. Mereka akan tetap tinggal di tempat neneknya sampai suaminya menceraikannya. Tidak jarang mereka mendapat siksaan dari orang tuanya supaya kembali kepada suaminya.
Kelima, melanjutkan sekolah. Ini bentuk perlawanan yang paling tidak terlihat secara langsung sebagai sebuah perlawanan terhadap pernikahan. Hampir semua informan menjadikan sekolah sebagai alasan mereka tidak terdiam menjalani pernikahan. Di sekolah mereka dapat beraktivitas sebagai pelajar dan sekaligus dapat berkumpul dengan teman-teman sebaya mereka. Meski demikian kondisi tidak senantiasa berjalan lancar.
Faktanya beberapa dari mereka yang masih melanjutkan sekolah dipaksa untuk berhenti karena mulai kelihatan indikasi penolakan mereka terhadap pernikahan. Bahkan ada yang tinggal satu bulan ujian akhir mereka dipaksa berhenti sekolah, sebagaimana terjadi pada seorang informan.
Sedangkan dalam kasus gadis yang menikah siri pada usia 11 tahun, ia meminta orang tuanya mengirimnya ke pesantren setelah lulus sekolah dasar sebagai pelarian setelah dinikahkan secara siri tersebut. Menjelang lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA), orang tuanya meminta dia bersedia dinikahkan secara resmi di kantor urusan agama, tapi dia tolak. Tidak hanya sekali menolak, tapi dua kali menolak, dan setelah itu dia diceraikan oleh suami sirinya. Setelah lulus Madrasah Aliyah, dia melanjutkan kuliah ke universitas sehingga terlepas dari pernikahan dini.
Perlawanan ini dapat berdampak positif atau negatif bagi anak perempuan yang melawan. Positifnya, anak-anak terbebaskan dari pernikahan yang dipaksakan yang membuat mereka terbelenggu dan tersiksa oleh kondisi tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh anak perempuan terhadap kawin anak mengandung berbagai risiko yang terkadang tidak terpikirkan. Dampak yang paling nyata adalah mereka menjadi janda pada usia muda, yang cenderung dinilai negatif oleh masyarakat.
Ini belum termasuk dampak psikologis yang diekspresikan anak menjadi tidak percaya diri dan menarik diri dari pergaulan teman sebayanya.
Baca juga: Kisah Cinta Rahasia Perawat Militer Amerika dengan Tahanan Perang Nazi
Dampak lainnya adalah intimidasi baik dalam bentuk fisik maupun psikis, termasuk dikucilkan dan tidak diakui sebagai anak, dari orang tua dan saudara-saudaranya karena perlawanan yang mereka lakukan dianggap mempermalukan keluarga.
Biasanya ini terjadi di awal perceraian, meski lambat laun orang tua mulai menerima dan dapat memaafkan anak perempuan berani melawan tersebut.
Tatik Hidayati, Lecture, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Madura
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | Armin Hari/UN Photo |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR