Penelitian terhadap Gunung Agung sebenarnya bermula pada tahun 1991. Saat itu para peneliti tengah meneliti Gunung Pinatubo, di Filipina yang sedang meletus. Letusan ini disebut-sebut sebagai letusan terbesar di abad ke-20.
Gunung Pinatubo memuntahkan satu mil kubik batu dan abu ke udara beserta 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer. Letusan ini tidak hanya berimbas pada masyarakat sekitar, namun juga memengaruhi Bumi.
Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia. Hal ini kemudian berimbas pada terjadinya sebuah reaksi kimia. Gas yang bercampur dengan uap air, menghasilkan tetesan “super dingin” yang dikenal sebagai aerosol.
Aerosol ini kemudian memantulkan sinar matahari menjauhi Bumi. Peristiwa ini lantas membuat suhu Bumi turun (rata-rata) sebanyak 1' F selama beberapa tahun. The New York Times menyebut letusan ini sebagai influencer alami Bumi.
Sementara itu, karakter Gunung Agung dinilai identik dengan Gunung Pinatubo. Oleh sebab itu para peneliti NASA mengincar letusan Gunung Agung untuk dijadikan "laboratorium" penelitian mereka.
Baca juga: Jangan Diabaikan! Inilah 10 Gejala Bahwa Ginjal Anda Bermasalah
Para peneliti kemudian merencanakan untuk menerbangkan balon berisi perangkat teknologi untuk mengukur dampak letusan di atmosfer Bumi.
Bila kekuatan letusan Gunung Agung sama dengan letusan yang pernah terjadi pada tahun 1963, maka Gunung Agung dipastikan akan memompa belerang dioksida dengan jumlah besar ke atmosfer.
Walau dampak awalnya akan merusak lapisan ozon, namun hal ini akan mampu menciptakan efek pendinginan Bumi. Namun permasalahan yang kemudian muncul adalah para peneliti tidak mengetahui kapan gunung ini akan meletus. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)
Source | : | The New York Times,intisari |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR