Masyarakat Bali mungkin sedang merasa "harap-harap cemas". Bukan tanpa alasan, Gunung Agung yang tengah aktif ini sudah beberapa kali mengalami erupsi. Salah satunya terjadi pada Senin (2/7/2018) malam, pukul 21.04 WITA.
Berdasarkan data PVMBG, Gunung Agung menyemburkan abu setinggi 2.000 meter di atas puncak, atau 5.142 meter di atas permukaan laut.
Baca juga: Menteri Teknologi, Sains, dan Lingkungan Hidup Malaysia Berusia 35 Tahun
Berbeda dengan masyarakat Bali—dan mungkin masyarakat Indonesia—yang tengah was-was, para peneliti NASA justru merasakan hal yang bertokak belakang.
Para peneliti NASA mengatakan bahwa letusan Gunung Agung berpotensi sebagai penyelamat dunia dalam permasalahan perubahan iklim.
Dengan meneliti peristiwa alam ini, NASA berharap dapat menemukan banyak gambaran terhadap bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer dapat digunakan untuk melawan perubahan iklim.
Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menyemburkan uap dan gas ke atmosfer.
Walaupun beberapa gunung berapi pernah mengalami letusan yang lebih besar dan menyebabkan "musim dingin vulkanik", namun Gunung Agung memiliki keunikan yang membuat para peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut.
Sekadar info, Gunung Tambora pada tahun 1815 meletus dan menyebabkan musim dingin sepanjang tahun. Bahkan Albany, New York mengalami musim salju selama setahun. Kelaparan pun terjadi di banyak tempat akibat adanya kerusakan tanaman pangan.
Baca juga: Benarkah Dua Lautan Bertemu Namun Tidak Menyatu di Teluk Alaska?
Letusan ini kemudian tercatat sebagai letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah.
Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mampu memengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.
Penelitian terhadap Gunung Agung sebenarnya bermula pada tahun 1991. Saat itu para peneliti tengah meneliti Gunung Pinatubo, di Filipina yang sedang meletus. Letusan ini disebut-sebut sebagai letusan terbesar di abad ke-20.
Gunung Pinatubo memuntahkan satu mil kubik batu dan abu ke udara beserta 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer. Letusan ini tidak hanya berimbas pada masyarakat sekitar, namun juga memengaruhi Bumi.
Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia. Hal ini kemudian berimbas pada terjadinya sebuah reaksi kimia. Gas yang bercampur dengan uap air, menghasilkan tetesan “super dingin” yang dikenal sebagai aerosol.
Aerosol ini kemudian memantulkan sinar matahari menjauhi Bumi. Peristiwa ini lantas membuat suhu Bumi turun (rata-rata) sebanyak 1' F selama beberapa tahun. The New York Times menyebut letusan ini sebagai influencer alami Bumi.
Sementara itu, karakter Gunung Agung dinilai identik dengan Gunung Pinatubo. Oleh sebab itu para peneliti NASA mengincar letusan Gunung Agung untuk dijadikan "laboratorium" penelitian mereka.
Baca juga: Jangan Diabaikan! Inilah 10 Gejala Bahwa Ginjal Anda Bermasalah
Para peneliti kemudian merencanakan untuk menerbangkan balon berisi perangkat teknologi untuk mengukur dampak letusan di atmosfer Bumi.
Bila kekuatan letusan Gunung Agung sama dengan letusan yang pernah terjadi pada tahun 1963, maka Gunung Agung dipastikan akan memompa belerang dioksida dengan jumlah besar ke atmosfer.
Walau dampak awalnya akan merusak lapisan ozon, namun hal ini akan mampu menciptakan efek pendinginan Bumi. Namun permasalahan yang kemudian muncul adalah para peneliti tidak mengetahui kapan gunung ini akan meletus. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | The New York Times,intisari |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR