Dari sisi ex-post, penetapan status darurat nasional ini terjadi setelah peristiwa pemicu, dalam konteks Lombok, gempa berkekuatan 7 SR. Dua prinsip utama dalam penetapan status ex-post ini terbagi atas dua model. Pertama, sebagai sebuah pernyataan pengambilalihan komando operasi dari pemerintah daerah dalam operasi kedaruratan maupun rekonstruksi pascabencana.
Secara obyektif, kelima kriteria menurut Undang-Undang Penanganan Bencana di atas sering di pakai. Bencana-bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional bisa dilihat dalam konteks Tsunami Aceh 2004 dan Gempa Flores 1992. Dampak bencana jauh melebihi kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola kebutuhan respons darurat dan rekonstruksi. Untuk kedua bencana ini, pemerintah pusat juga mengambil komando operasi dan rekonstruksi.
Kedua, sebagai pernyataan legal atas mobilisasi aset nasional dalam mereduksi eskalasi kedaruratan. Dalam hal ini, manfaat penetapan status bencana nasional adalah agar pemerintah pusat mempunyai kemudahan akses yang meliputi pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik, percepatan imigrasi, cukai, dan karantina (bila diperlukan), perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan barang, fungsi penyelamatan dan komando lintas sektor dan lembaga.
Dari sisi ex-ante, status darurat ditetapkan sebelum ada korban jiwa maupun harta benda. Selain Amerika Serikat, kategori ini belum pernah dicoba di Indonesia maupun negara lainnya. Tradisi ini di mulai ketika Presiden Barack Obama mendeklarasikan Hurricane Sandy sebagai darurat nasional, sebelum New York diterpa badai pasir tersebut.
Soal tanggung jawab, liabilitas dan akuntabilitas pemerintah menjadi pertimbangan penting. Keputusan Obama kemudian dikenal sebagai sesuatu yang baru oleh banyak ahli managemen bencana dan dijadikan model alternatif deklarasi status bencana nasional di berbagai negara.
Lalu apa yang menyebabkan pemerintah di berbagai belahan dunia enggan menetapkan sebuah peristiwa bencana sebagai bencana nasional? Dalam konteks bencana asap Kalimantan dan Sumatra 2015 pemerintah ragu-ragu dalam menetapkan status bencana nasional karena seolah-olah penetapan bencana nasional menghilangkan tanggung jawab perusahaan pembakar hutan.
Pemerintah di berbagai negara umumnya enggan mendeklarasikan sebuah bencana dengan status bencana nasional karena salah kaprah soal kemungkinan disalah-pahami sebagai tanda lemahnya kemampuan pemerintah baik daerah maupun pusat dalam menangani bencana. Seolah-olah deklarasi bencana nasional adalah sebuah undangan otomatis bantuan internasional.
Untuk menghindari debat kusir yang tidak produktif, saatnya kita mengajukan pertanyaan diagnostik terkait perlu tidaknya deklarasi bencana nasional oleh pemerintah pusat. Pertama, apakah ada hambatan mobilisasi sumber daya dan aset nasional? Kedua, apakah pemerintah daerah mampu mengkoordinasi respons darurat saat ini? Tentu jawabannya tergantung siapa yang Anda tanyai.
Tantangannya bukan hanya pada soal keuangan dan sumber daya, tapi juga bagaimana sistem administrasi rehabilitasi dan rekonstruksi bisa menjawab kebutuhan membangun yang lebih baik dan lebih tahan gempa. Hampir semua pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki agenda membangun rumah yang lebih tahan gempa dalam 10 tahun terakhir.
Peran yang diambil pemerintah pusat saat ini adalah memantau secara dekat dan mendukung pemerintah daerah NTB melalui berbagai sumber daya baik dana maupun logistik dan sumber daya manusia. Pendekatan ini walau mulia tapi tidak selalu efektif.
Secara status quo, pemerintah daerah telah gagal mengimplementasi mitigasi kegempaan yang berujung pada kehancuran fisik yang parah. Dengan pendekatan status quo saat ini, pertanyaan yang lebih urgen dijawab adalah apa jaminannya rekonstruksi dalam genggaman Pemda NTB bisa menjawab kebutuhan “membangun kembali dengan lebih baik” yang tahan gempa dan tahan banting terhadap ancaman alam lainnya di masa yang akan datang?
Jonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin University dan Mujiburrahman Thontowi, PhD Student, Charles Darwin University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR