Seiring berjalannya waktu, dengan negara-bangsa modern menggantikan negara-kota, berbagai upaya menghidupkan kembali Olimpiade pun dilakukan di berbagai negara. Namun, baru pada 1895, Olimpiade modern pertama diadakan sebagai ajang olahraga global. Sejak itu, banyak ajang serupa bermunculan, umumnya diprakarsai oleh federasi regional. Salah satunya adalah Asian Games yang diinisiasi pada 1951 dan dipimpin oleh Olympic Council of Asia.
Kini, dengan adanya globalisasi, olahraga perlahan berevolusi menjadi agenda baru dalam politik internasional. Performa atlet pun dianggap sebagai simbol kekuatan sebuah negara, sehingga banyak pemimpin berlomba-lomba memprioritaskan pengembangan olahraga di negara mereka.
Hal yang sama pun dirasakan oleh para warga negara. Mereka mendukung atlet-atlet yang berlaga tanpa kenal lelah. Para pendukung ini menganggap atlet-atlet tersebut setara dengan pahlawan yang mengharumkan nama bangsa.
Dalam politik internasional, peperangan dan perdamaian adalah dua topik yang masih dianggap paling penting. Walaupun jumlah konflik bersenjata terus menurun setelah Perang Dunia II, masih ada sejumlah kawasan di dunia yang terlibat perang.
Ketika cara-cara diplomasi tradisional tak mampu menyelesaikan masalah ini, olahraga pun diharapkan mampu mengisi kekosongan tersebut. Karakter universal olahraga, yang tidak mengenal batasan bahasa, telah menarik para politikus untuk menggunakannya sebagai metode diplomatik yang baru.
Havard Mokleiv Nygard dan Scott Gates, peneliti dari Peace Research Insitute Oslo, berpendapat bahwa ada empat cara olahraga menjadi alat mendukung perdamaian:
Ajang olahraga internasional mampu membantu tuan rumah menciptakan citra ramah bagi negara-negara lain di dunia.
Olahraga mampu menyediakan tempat untuk pertukaran budaya secara damai, sehingga mendorong dialog berikutnya.
Ajang olahraga memungkinkan negara-negara partisipan untuk membangun rasa percaya satu sama lain.
Ajang olahraga memungkinkan negara-negara peserta menggalang perdamaian lewat semangat rekonsiliasi, integrasi, dan anti-rasisme.
Beberapa orang mungkin skeptis terhadap peran olahraga dalam menciptakan perdamaian. Namun, skeptisisme ini hanya benar ketika kita menganggap ajang olahraga sebagai sebuah solusi ajaib yang mampu meruntuhkan segala hambatan untuk mewujudkan perdamaian.
Untuk menghindari pemahaman yang keliru, kita perlu menyepakati bahwa ajang-ajang olahraga seperti Asian Games, pada hakikatnya, bersifat kompetitif. Di satu sisi memang ia mampu menjadi sebuah pertemuan yang memunculkan rasa hormat. Namun, di sisi lain, ia juga berpotensi disalahgunakan sebagai ajang perselisihan yang bisa menimbulkan rasa nasionalisme secara berlebihan.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR