Nationalgeographic.co.id - Setiap suku memiliki tradisi masing-masing dalam mengukur kedewasan seorang pria. Salah satunya adalah suku Satere Mawe, suku asli asal di hutan Amazon, Brazil.
Untuk memastikan anak laki-laki telah memasuki usia dewasa, mereka harus melewati ritual menyakitkan selama 11 jam dengan cara memasukan tangan ke dalam "sarung tangan" rajutan daun yang diisi dengan ratusan semut peluru.
Baca juga: Baca Juga : Stasiun Luar Angkasa Mengalami Kebocoran Udara, Hasil Sabotase?
Semut yang dikenal dengan rasa sakit akibat gigitannya ini dapat ditemukan di sekitar Nikaragua hingga cekungan Amazon. Sengatan dan gigitannya yang sangat kuat inilah yang membuat mereka disebut sebagai semut peluru. Dengan panjang tubuh 18-25 milimeter, semut hitam kemerahan ini disebut sebagai salah satu semut terbesar.
Sebelum ritual dimulai, tangan remaja laki-laki yang akan diuji kedewasaannya ini kemudian diolesi arang untuk menangkal sengatan semut peluru — pada kenyataannya cara ini dinilai tidak efektif.
Setelah selesai dengan arang, kedua tangan akan dimasukan ke dalam rajutan daun tadi sampai sebatas siku. Tangan yang telah dimasukan harus didiamkan selama 10 menit, sebanyak 20 kali. Setelah itu, para ketua adat akan mulai berdoa dan menari bersama sembari menunggu selesainya ritual tersebut.
Bila terkena sengatan semut peluru, maka rasa sakit akan dirasakan hingga 24 jam. Rasa sakit dari gigitan semut peluru akan terasa panas seperti luka bakar. Tidak hanya itu, racun yang dikeluarkan oleh semut peluru juga akan membuat remaja tersebut lumpuh untuk sementara waktu.
Baca juga: Baca Juga : Ritual dan Tradisi Menyembah Gadis Kumari, Sang
Bahkan, bagi beberapa orang, rasa sakitnya terasa hingga berminggu-minggu. Tidak sedikit juga yang menangis dan pingsan akibat tidak tahan dengan sengatan semut peluru.
"Dengan sengatan semut peluru, rasa sakit akan menjalar ke seluruh tubuhmu. Kamu akan mulai berkeringat, gemetar, detak jantung meningkat, dan jika kamu mendapatkan beberapa sengatan, kamu mungkin akan pingsan," ucap aktivis alam Steve Backshall, seperti dikutip dari ZME Science pada Rabu (5/9/2018).
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR