Nationalgeographic.co.id - Karin novilda atau yang biasa dipanggil Awkarin, beberapa hari yang lalu memutuskan untuk berhenti dari Instagram dan menjual akun yang telah membesarkan namanya pada Senin (22/10/2018). Namun kemudian, berbagai media mengabarkan bahwa ia tidak berhenti seutuhnya. Bahkan "pembeli" dari akun yang ia jual adalah dirinya sendiri.
Awkarin kemudian mengunggah sebuah video berjudul I Quit Instagram yang diunggah ke kanal Youtube. Dalam video berdurasi 44 menit itu Awkarin memberikan pernyataan. "Untuk kalian yang masih bertanya-tanya kepada siapa aku menjual akun IG-ku, aku menjual akun IG-ku kepada diriku yang baru. Jadi, Karin yang dulu retire forever. Karin yang penuh drama yang kalian tahu, she's retired."
Menurutnya, media sosial memiliki efek yang sama seperti narkoba, di mana bisa membuat orang-orang yang menggunakannya bahagia. Pada saat mendapatkan banyak reaksi atau perhatian, saraf di otak mengeluarkan dopamine dan akhirnya membuat bahagia
Dopamine sendiri adalah senyawa alami tubuh yang memiliki peran penting pada proses pengiriman sinyal di dalam otak.
Baca Juga : Kecelakaan Pesawat: Berapa Besar Peluang Kita Untuk Selamat?
Berkaitan dengan media sosial dan pengaruh bagi penggunanya, dilansir dari Kompas.com pada Rabu (31/10/2018), Kasandra A. Putranto, seorang psikolog klinis, dan Linda Setiawati dari Personal Growth sepakat bahwa media sosial dapat memberikan dampak besar untuk diri sendiri dan orang lain. Apalagi pada saat ini, hampir semua orang menggunakan smartphone dan gadget yang sudah dianggap menjadi suatu kebutuhan.
"Media sosial akan merefleksikan kualitas psikologis seseorang dan sebaliknya, kualitas psikologis seseorang akan sangat mempengaruhi perilakunya dalam beraktivitas di media sosial," ucap Kasandra.
"Lebih lanjut lagi, berdasarkan teori Primming, segala hal dari media sosial bisa diyakini kebenarannya, karena memang media membentuk pengetahuan dan sikap seseorang," tambahnya.
Linda juga menambahkan. Jika munculnya media sosial bisa memberikan dampak positif dan negatif, tergantung dari bagaimana pengguna menggunakannya. Media sosial bisa saja digunakan sebagai sarana belajar dan berinteraksi dengan orang lain, tetapi di sisi lain bisa juga berdampak negatif ketika ikut serta dalam menyebarkan berita hoaks melalui media sosial.
"Media sosial dapat berdampak bagi diri sendiri maupun dalam hal hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan sosial dengan orang lain dapat terganggu ketika seseorang lebih mementingkan hubungan di media sosial dibandingkan hubungan tatap muka langsung dengan orang lain, termasuk hubungan dengan orang terdekat," ucap Linda dilansir dari Kompas.com.
Orang-orang yang ketergantungan saat menggunakan media sosial dan gadget, terlebih lagi dengan intensitas waktu dan kegiatan yang tinggi, kemungkinan besar juga akan membuat kecanduan.
Ciri-ciri orang yang mengalami kecanduan dengan media sosial seperti mereka yang mulai menghabiskan hampir sebagian besar waktunya untuk menggunakan media sosial, merasa cemas ketika tidak menggunakan media sosial dan sampai mengganggu aspek kehidupan yang lain.
"Kecanduan pasti mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bisa saja kecanduan media sosial membuat seseorang tidak bisa berfungsi maksimal, baik aktivitas diri sendiri seperti menjadi lupa mandi atau makan karena menghabiskan waktu untuk bermain media sosial, dan performa kerja menjadi tidak optimal akibat penggunaan media sosial. Kondisi tersebut menjadi indikasi kesehatan mental individu terganggu," ucap Linda.
Linda menyebutkan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diapresiasi mungkin dapat diberikan lewat penghargaan dalam sebuah kompetisi, di masa modern saat ini orang berlomba untuk mendapatkan banyak likes di media sosial contohnya di instagram.
"Seseorang tinggal posting, mendapatkan like, yang kemudian membuat individu merasa ia disukai. Kondisi ini menyebabkan orang menjadi mudah merasa kecewa, kondisi emosional terganggu karena bergantung pada respons positif lingkungan yang diindikasikan dengan likes. Pada kenyataannya, respons dari lingkungan adalah hal yang sulit untuk kita kendalikan dan bukan kapasitas kita untuk mengatur respons orang lain", ucap Linda.
Dalam kasus Awkarin, ia mengatakan akan bahagia ketika mendapatkan banyak perhatian melalui unggahan media sosialnya, Kasandra berkata bahwa hal tersebut umunya terjadi pada mereka yang memiliki kadar dopamine rendah atau terbatas.
"Orang dengan kadar dopamine rendah akan berusaha melakukan hal-hal tertentu demi memperoleh dopamine. Namun, hal ini tidak berlaku otomatis pada setiap orang. Mereka yang tidak memiliki masalah dopamine tentu memiliki potensi risiko rendah menjadi adiktif gadget," ucap Linda.
Baca Juga : Lima Cara Mudah Agar Tubuh Lebih Sehat Selain dengan Olahraga
Untuk menghindari masalah seperti itu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah belajar untuk mengontrol diri sendiri untuk tidak hanya menggunakan gadget setiap ada waktu kosong.
"Jika sudah mulai memunculkan kecenderungan ke arah sana, maka perlu diwaspadai. Langkah nyata yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak aktivitas riil di lingkungan, memperbanyak pertemuan atau interaksi tatap muka dengan orang bukan di dunia maya, ikut dalam kegiatan komunitas, atau bisa juga berolahraga," ucap Linda.
"Kuncinya keseimbangan. Segala hal yang ada di dunia ini tidak baik bila terlalu banyak, dan tidak baik bila terlalu sedikit. Manfaatkanlah gawai dan media sosial secara proporsional," ucap Kasandra.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Loretta Novelia Putri |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR