Nationalgeographic.co.id - Di Jepang, terkenal istilah wabi sabi. Itu merupakan filosofi yang kerap digambarkan sebagai cara menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Ya, konsep luas dari wabi sabi memang mengarah ke ketidakabadian dan ketidaksempurnaan dalam hidup.
Dilansir dari mindful-company.com, Richard Powell, pengarang buku Wabi Sabi Simple, mengatakan, konsep tersebut mengajarkan tiga realitas sederhana: bahwa dalam hidup ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak selesai, dan tidak ada yang sempurna.
Di Jepang sendiri, arti wabi dan sabi telah berkembang seiring berjalannya waktu. Wabi dikaitkan dengan jenis kesepian dan kesendirian yang mirip dengan apa yang dirasakan pertapa di wilayah terpencil. Sementara sabi berhubungan dengan sesuatu yang ternoda atau berkarat–tanda-tanda perkembangan alamiah.
Baca Juga : Suku Bajo, Penjelajah Air yang Ditakdirkan Menjadi Penyelam Terkuat
Mulai abad ke-14, kesepian dan kesendirian tidak dipandang lagi sebagai hal buruk, melainkan sesuatu yang bisa membuat kita bebas dan lebih bijak. Dan ketidaksempurnaan yang dihasilkan dari perkembangan alami kehidupan, harus dirangkul sebagai pengingat akan ketidakabadian.
Wabi sabi sering juga dikaitkan dengan rasa damai dalam melihat perubahan alami kehidupan. Menerima fakta bahwa hidup dan hal-hal yang ada di dunia ini tidak kekal, memungkinkan kita untuk lebih menghargai keindahannya.
Sebagai contoh, meja kayu yang sudah tua, tampak kusam dan jelek. Dengan menerapkan wabi sabi, kita berusaha melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan meja akibat pengaruh usia.
Secara singkat, wabi sabi fokus kepada 'menghargai' dan 'menerima' sesuatu yang tidak sempurna–baik karena sudah tua, tidak lengkap, atau memang biasa saja. Konsep wabi sabi menganggap ketidaksempurnaan merupakan bagian dari hidup dan tidak seharusnya disangkal.
Baca Juga : Potret Tradisi Chaupadi, Mengasingkan Wanita yang Sedang Menstruasi
Jika diterapkan pada diri sendiri, wabi sabi membantu kita menerima kekurangan dan mensyukuri apa yang dipunya saat ini. Filosofi tersebut mengingatkan kita bahwa manusia tinggal sementara di Bumi. Bahwa tubuh dan harta kita akan kembali menjadi debu seiring berjalannya waktu.
Membawa wabi sabi ke dalam kehidupan tidak perlu uang, pelatihan, atau keterampilan khusus. Hanya dibutuhkan pikiran tenang yang bisa menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan, keberanian yang tidak takut pada kebodohan, serta kesediaan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya.
Contoh lainnya, konsep wabi sabi dapat diterapkan sesederhana melihat keindahan pada daun-daun kering yang gugur dari pohonnya, tidak senewen ketika melihat noda di karpet, atau menghargai diri sendiri meski memiliki banyak kekurangan.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Source | : | Dari berbagai sumber |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR