Nationalgeographic.co.id - Gelombang tsunami menerjang Selat Sunda pada Sabtu (22/12) lalu. Tidak adanya peringatan dini membuat korban jiwa dan kerusakan yang terjadi cukup parah.
Dilansir dari National Geographic, alasan mengapa tidak ada peringatan tsunami sebelumnya adalah karena sumber gelombang ini sangat mengejutkan. Tsunami biasanya didahului oleh gempa bumi, tapi ini tidak terjadi pada bencana Selat Sunda sehingga sulit memprediksi datangnya gelombang.
Beberapa orang pun menyebut peristiwa tersebut sebagai 'tsunami senyap' karena ia datang dengan tiba-tiba dan langsung memusnahkan apa pun yang ada di sekitarnya.
Baca Juga : Erupsi Gunung Anak Krakatau: Dampaknya pada Biodiversitas dan Tanah
Tsunami seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, menurut catatan sejarah, pulau Lomblen atau dikenal Lembata yang ada di Kepulauan Nusa Tenggara, juga pernah mengalami tsunami senyap pada 18 Juli 1979. Kala itu, warga setempat mengaku tidak merasakan guncangan gempa bumi sebelum tsunami menerjang.
Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, mengatakan, catatan seismogram dari lokasi paling dekat yakni Stasiun Geofisika BMKG Kupang, memang tidak menunjukkan adanya aktivitas gempa tektonik di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebelum kejadian.
Melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Daryono memberikan beberapa catatan dan laporan yang memuat tentang tsunami Lomblen. Dalam laporan Jonatan Lassa pada 2009, disebutkan bahwa tsunami Lomblen disebabkan peristiwa longsoran gunung api.
Senada dengan Jonatan Lassa, tepat 30 tahun sebelumnya (1979), Hadian menyatakan bahwa tsunami tersebut dipicu longsoran tebing pada sisi utara Gunung Werung. Material longsoran tebing dalam volume sangat besar runtuh dan masuk ke laut hingga membangkitkan tsunami dahsyat.
Sementara itu dalam laporan Elifas pada 1979, daerah yang mengalami bencana tsunami kurang lebih 50 kilometer sepanjang Teluk Labala di bagian barat hingga Teluk Waiteba di bagian timur.
Dalam catatan Brune dan koleganya di tahun 2010, gelombang tsunami Lomblen yang tingginya mencapai tujuh sampai sembilan meter, menerjang kawasan Lembata di Pulau Lomblen hingga sejauh 1.500 meter dari bibir pantai.
Kemudian, melalui kajian empirik yang dilakukan Yudhicara dan koleganya pada 2015, ia menemukan bahwa sistem geothermal adalah pemicu terjadinya longsoran. Geothermal sendiri merupakan sumber panas yang berasal dari dalam bumi.
Baca Juga : Ditemukan Retakan Baru di Krakatau, BMKG Imbau Warga Waspada Tsunami Susulan
Sama dengan tsunami Selat Banten, bencana yang terjadi empat dekade lalu tersebut juga mengakibatkan kerusakan parah dan menelan korban jiwa hingga ratusan orang.
"Menurut laporan, dampak tsunami ini tercatat sebanyak 539 orang meninggal, sementara sebanyak 700 orang hilang dari 4 desa," pungkasnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR