Nationalgeographic.co.id—Achmad Mochtar adalah satu cerminan pahlawan Nasional dari kalangan dokter. Bukan militer atau pejabat negara. Sepanjang hidupnya yang luar biasa, ia mendedikasikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan dunia kedokteran.
Perantauan intelektualnya dimulai pada bulan November 1907 hingga Juni 1916 di STOVIA. Setelah lulus, ia kemudian bekerja di Sumatera Utara sebagai dokter pemerintah. Hatinya tertambat pada Siti Hasnah yang kemudian menjadi istrinya.
Leo van Bergen bersama dengan tim risetnya, Liesbeth Hesselink dan Jan Peter Verhave menulis buku berjudul The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942, terbitan 2017. Leo dan tim mengisahkan perjuangan Achmad Mochtar dalam bukunya.
Pada tahun 1919, ia dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Sibolga (keduanya terletak di Sumatera Utara). "Di sana dia bertemu W.A.P. Schüffner, seorang dokter yang bekerja di Perusahaan Senembah, yang mendorongnya untuk pergi ke Belanda," imbuh Leo dan tim.
Pada tahun 1923, Mochtar berangkat ke Belanda bersama istri dan dua anaknya. Di Universitas Amsterdam ia dianugerahi gelar kedokteran Belanda pada tahun 1927 dan menerima gelar doktor kedokteran pada tahun yang sama.
Ia menulis sebuah disertasi berjudul Onderzoekingen omtrent eenige leptospiren-stammen (Penelitian beberapa strain Leptospirosis). Sekembalinya ke Hindia ia menjadi dokter pemerintah di berbagai tempat di nusantara.
Cukup lama, Mochtar bekerja di laboratorium di Semarang, tempat ia menangani penelitian tentang penyakit kusta bersama dengan direktur laboratorium, Sardjito dan rekannya, Sitanala.
Pada tahun 1937, ia dipindahkan dari Semarang ke Institut Eijkman di Jakarta, sebuah lembaga penelitian biologi di Jakarta yang didirikan pada masa pemerintahan Belanda berkuasa di Hindia.
Antara tahun 1929 dan 1942, ia menerbitkan 25 artikel di GTNI, terutama tentang leptospirosis (penyakit Weil) dan kusta. Mochtar adalah anggota komite yang dibentuk oleh Jepang pada tahun 1942 untuk menyusun kurikulum kedokteran.
Ia diangkat menjadi wakil rektor Ika Daigaku, nama Akademi Kedokteran pada zaman Jepang. Namun, pada 3 Juli 1945, ia dipenggal oleh Jepang karena dicurigai merusak vaksin.
Sejak saat itu, kematiannya menjadi tanda tanya besar. Seorang akademisi Inggris, Kevin Baird telah membantu mengungkap kebenaran di balik eksekusi salah satu ilmuwan terhebat Indonesia oleh penjajah Jepang.
Baca Juga: Vaksin Jepang yang Mematikan Pekerja Romusha dalam Sejarah Indonesia
Source | : | The Guardian,The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR