Suatu ketika, teman saya bertanya, “Ada apa di Cikini? Hanya Taman Ismail Marzuki.” Pertanyaan yang justru membangun sebuah keyakinan; pasti ada “apa-apa” di wilayah elit masa lalu itu. boleh saja menjadi bagian kota yang tidak diberi perhatian khusus, karena dilewati setiap hari. Namun nuansa nostalgia terasa kuat di sana.
Cikini terkenal sebagai pusat perbelanjaan sejak lama. Bangunan berlanggam art deco berdiri di beberapa titik. Seperti Kantor Pos Cikini yang dulu bernama Tjikini Post Kantoor. Berdiri sejak zaman kolonial Belanda, bangunan terasa asri dan berbau Eropa.
Hanya berjarak beberapa meter dari sini, berjajar bangunan-bangunan bergaya khas 1920-an. Ada yang kosong tanpa penghuni, dan tidak sedikit yang dijadikan toko dengan serangkaian perombakan dengan memperhatikan nuansa keaslian gedung di zaman dulu. Salah satunya Café Au Lait. Kedai minum kopi serta wahana bersosialisasi yang buka sejak 2006 ini memiliki interior modern namun tidak menanggalkan nilai klasik di dalamnya.
Berbeda dengan Café Au Lait yang memasukkan unsur modern, Toko Roti Tan Ek Tjoan masih teguh pada sisi klasiknya. Bangunan sejak 1953 ini terlihat dirawat apik, berciri khas langit-langit yang tinggi.
Di seberang toko roti tertua itu, ada sebuah nama kondang bagi dunia optik Indonesia, A. Kasoem. Pengusaha kacamata dan alat bantu baca yang mendirikan toko di Cikini sejak 1938 ini melakukan ekspansi bisnis dengan membangun pabrik lensa terbesar di Asia Tenggara.
Hanya beberapa langkah dari sini, sampailah saya pada sebuah lokasi, satu-satunya gedung atau area yang diingat oleh teman saya, bila mendengar kata “Cikini”. Yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) atau dulu dikenal sebagai Taman Raden Saleh (TRS).
Di sini, terdapat beberapa titik yang menarik perhatian, seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ), salah satu institusi pencetak seniman-seniman terkenal Indonesia.
Di antara banyak teater tadi, kompleks kesenian TIM juga memiliki Planetarium Jakarta. Observatorium ini berdiri atas gagasan presiden pertama RI, Soekarno dan direalisasikan pembangunannya pada 1964.
Tidak sebatas pilihan menonton teater, film atau kegiatan astronomi, di ruas Cikini Raya terdapat (8) Laba-Laba Cikini, sebuah toko reparasi berusia lama. Awalnya, penyedia jasa perbaikan atau reparasi berbagai barang, seperti tas dan sepatu dari kulit buaya, ular, dan biawak ini bernama De Spin, yang berdiri sejak 1898.
Namun namanya diubah ke Bahasa Indonesia sebagai Laba-Laba dan lebih fokus untuk melayani reparasi tas dan sepatu. Sampai kini, pelanggan gerai ini terbilang sangat banyak.
Selanjutnya: Cikini, Sudut Kota Lama yang Terlupa (II)
Sejarah Migrasi Manusia Modern di Indonesia Terungkap! Ada Perpindahan dari Papua ke Wallacea
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR