Ada 59 bangunan tua Tionghoa di Jakarta yang terdaftar sebagai cagar budaya menurut SK Gubernur No.475/1993. Sebagaian besar -- 57 -- merupakan ruko, 1 rumah tinggal dan 1 gereja, kebanyakan berlokasi di Jakarta Barat. Bahkan yang sudah berstatus harus dipertahankan, kelestariannya pun patut dipertanyakan.
Persoalannya klise: pemilik bangunan cagar budaya tak mendapatkan insentif dari Pemerintah Daerah untuk biaya pemeliharaan yang tak sedikit itu. Langkah akhir dari si pemilik cagar budaya adalah membongkar bangunan untuk pemanfaatan ekonomi, atau menjual lahan dan bangunan itu. Sementara, pembeli yang tahu atau mungkin pura-pura tak tahu, tak menganggap penting bangunannya. Hanya butuh lahannya. Jadi, bangunan juga segera dibongkar.
Akan terjadi “ribut-ribut” sejenak – komunitas pencinta bangunan tua bersejarah akan membuat petisi, protes agar bangunan itu dipertahankan. Tapi imbauan ini biasanya tak cukup kuat untuk meluluhkan hati si pemilik atau si pembeli.
Ini terjadi misalnya pada Rumah Karawaci, peninggalan tuan tanah Kapiten Oei Djie San di Kota Tangerang yang dibongkar pada 2009. Upaya komunitas Walibatu (Warga Peduli Bangunan Tua) pun terhenti.
Jika alasan pemilik “Rumah Cantik Menteng”, bangunan cagar budaya yang dijual kepada putra orang nomor satu Indonesia, semata karena alasan ekonomi, tak kuat membayar pajak di kawasan elite itu, pemilik bangunan cagar budaya Tionghoa punya alasan lain untuk tak mempertahankannya:
Bangunan Tionghoa punya kecenderungan menjadi sasaran amuk massa bila terjadi kerusuhan berbau etnis. Ini mengemuka dalam Diskusi “Bangunan Tua Tionghoa di Jakarta, Sejarah yang Terlupakan” di Museum Bank Indonesia, Minggu, (28/7), yang menampilkan pembicara antara lain, pemerhati sejarah dan budaya Tionghoa, Mona Lohanda. Diskusi ini digelar Kecapi Batara -- Kelompok Pecinta dan Pemerhati Bangunan Tua Nusantara.
Jalan keluarnya? “Sebenarnya ada dana pemeliharaan di Pemda DKI, tapi hanya untuk bangunan yang dimiliki oleh Pemda DKI. Jadi, desak kami, ajukan permintaan agar keluar surat keputusan yang mengatur anggaran untuk bangunan cagar budaya,” papar Andrian Attahiyat, Kepala Balai Konservasi DKI Jakarta.
Dan tak kalah penting, adanya bela rasa dan pengakuan tulus, bahwa Tionghoa adalah bagian sejarah dan masyarakat kita. Jangan terpaku mewarisi politik pecah belah Hindia Belanda tentang pengistimewaan sekaligus pengisolasian masyarakat Tionghoa di masa lalu. Persamaan hak dan kewajiban sebagai jiwa Kemerdekaan Indonesia selayaknyalah berlaku bagi siapa pun yang menjadi warga negara Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR