Pagi itu kampung Taroi di distrik Aranday, Teluk Bintuni, Papua Barat masih sunyi. Belum terlihat lalu-lalang orang di jalan desa yang terbuat dari panggung kayu. Gerimis pagi semakin menambah kesunyiannya.
Namun, kesunyian tiba-tiba pecah oleh suara seorang lelaki paruh baya. Suaranya menggelegar membelah rintik gerimis pagi. “Ayo cepat berangkat sekolah!” teriaknya lantang di depan sebuah rumah.
Kampung Torai memang unik, seperti banyak perkambungan di pesisir barat Papua yang berdiri melayang di atas rawa. Rumah di sana berbentuk rumah panggung. Jalan desa pun dari dek kayu seperti dermaga pelabuhan.
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan kawasan yang memiliki mangrove terbesar di Indonesia. Lahannya bergambut, kampung-kampung didirikan di atasnya. Akses ke sana sangat sulit dan mahal. Kalau hendak ke sana harus menggunakan perahu alias transportasi air.
Karena akses yang sulit itulah maka mengalami banyak kendala termasuk pendidikan. Tingkat partisipasi murid dan orangtua sangat rendah untuk mensukseskan pendidikan di sana. Anak membolos sekolah sudah menjadi hal yang biasa dan orangtua tak menegurnya dan berimbas pda rendahnya kualitas pendidikan.
Pemerintah memutar otak bagaimana caranya untuk meningkatkan pendidikan di daerah yang sulit di jangkau. Salah satu caranya dengan menggunakan teriakan lantang di pagi hari untuk mengingatkan anak-anak untuk pergi ke sekolah.
“Itulah salah satu program yang dibuat untuk meningkatkan partisapasi murid dan orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan,” begitu kata Darsono dari British Council yang menjadi konsultan pendidikan bagi pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni.
Bapak yang berteriak lantang tadi adalah Sulaiman Solowat, 50 tahun. Dialah yang bertugas sebagai “Polisi Sekolah” di Kampung Torai. Setiap pagi ia berkeliling kampung untuk mengunjungi rumah yang anak-anaknya tidak masuk pada hari sebelumnya. Ia rutin mendapat laporan dari guru siapa yang tidak masuk.
Keesokan paginya, Sulaiman akan mendatangi rumah anak yang bersangkutan dan berteriak lantang di depan rumah mengingatkan orangtua dan juga si anak yang kemarin membolos. Ternyata hal ini efektif bisa meningkatkan partisipasi murid dan orangtua dalam kegiatan sekolah.
Sehari-hari ia bekerja sebagai penjaga sekolah dan sekretaris desa. Ia juga ketua Komite Sekolah di Sekolah Negeri Torai, Teluk Bintuni. Ia bercerita betapa menyesalnya ia dulu sekolah hanya sampai kelas dua SMP.
“Saya menyesal tidak lanjut sekolah karena sudah kenal uang dari cari ikan,” katanya mengenang kenapa ia putus sekolah. “Kalau saya terus sekolah mungkin sudah menjadi kepala sekolah. Biar saja orang tuanya yang bodoh tapi anak-anak harus sekolah.”
Dan semangat itu yang terlihat saat ia mulai berteriak membangun para siswa dan mengingatkan mereka dari rumah ke rumah. Hal itu ia lakukan sejak tahun 2008. Dari rumah ia datang ke sekolah untuk mengibarkan bendera dan membuka kunci kelas. Lalu mulailah ia berkeliling dan berteriak lantang ke penjuru kampung.
Teriakan yang keras itu menyebabkan ia mendapat julukan sebagai Pak Hau-Hau. Diambil dari bahasa lokal yang sebenarnya nama burung asli Papua yang suka mengeluarkan suara keras, burung Hau-Hau.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR