SELAMA puluhan tahun dokar atau andong menjadi andalan utama transportasi rakyat di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Hingga kini, dokar masih mendapat tempat di hati warga. Walau harus bersaing ketat dengan angkutan kota dan ojek, transportasi yang menggunakan tenaga kuda tetap eksis di kota dingin ini.
Segelintir warga Wonosobo, terutama simbok-simbok (ibu-ibu) yang berbelanja ke pasar, masih tetap setia dengan dokar. Kendati demikian, kehadiran mobil dan sepeda motor yang perlahan-lahan menggeser peran dokar sebagai alat transportasi rakyat ini menjadi ancaman yang terus membayangi eksistensi dokar.
Lalu, mengapa transportasi ini masih menjadi pilihan rakyat setempat? Selain karena ikatan emosional yang tercipta antara pelanggan dan sang kusir atau sais selama puluhan tahun, kondisi alam di Wonosobo yang sejuk menjadikan warga memilih naik dokar.
”Kami sudah kenal lama dengan sais-saisnya, jadi tiap belanja ke pasar lebih enak naik dokar. Lagian kalau naik dokar kan enggak kepanasan, banyak anginnya,” kata Sriyati (60), warga Wonosobo yang mengaku telah puluhan tahun pakai dokar.
Di luar alasan itu, bagi sejumlah warga, mereka masih setia dengan dokar karena ongkosnya tidak jauh beda dengan angkot, yakni sekali jalan sekitar Rp 2.000. Jika membawa belanjaan yang banyak, cukup bayar Rp 10.000 bisa pakai satu dokar.
Kendati demikian, hampir semua para sais dokar mengaku dalam 10 tahun terakhir, bahkan dalam lima tahun terakhir, jumlah penumpang dokar menurun drastis. Dampak yang paling dirasakan, pendapatan para sais tiap hari makin menurun.
”Enggak mesti dapat berapa. Kadang sehari cuma Rp 20.000, kadang bisa sampai Rp 40.000. Dapat Rp 50.000 sudah untung. Itu pendapatannya masih kotor karena mesti dikurangi makanan kuda sekitar Rp 10.000 sampai Rp 20.000,” ujar Edi Santoso (31), sais dari Desa Sarwodadi, Kecamatan Tawangsari.
Edi yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi sais mengaku dari tahun ke tahun pendapatannya makin tak tentu. ”Sekarang kuda kalah sama mesin,” kata Edi, yang saat bertemu Kompas sedang mangkal di salah satu ujung jalan, tak jauh dari Alun-alun Wonosobo, beberapa waktu lalu.
Jual dokar
Derasnya tekanan transportasi modern juga dirasakan Marmo (63), sais dokar asal Desa Jogoyitnan, Wonosobo, yang menjadi kusir sejak 1970-an. Sejak dulu ia punya tiga dokar dan kuda. Namun, lima tahun lalu, Marmo terpaksa menjual dua dokar beserta kudanya karena pendapatan yang diterima tidak seimbang dengan biaya perawatan kuda. Yang terakhir dokar dan kuda dia jual Rp 6 juta.
”Enggak kuat lagi, lebih baik dilepas,” katanya saat ditemui sedang mangkal di bagian selatan Pasar Induk Wonosobo, salah satu pangkalan dokar yang dikenal dengan sebutan Jalan Pasar 2. Tempat lain yang menjadi lokasi mangkal dokar adalah Jalan Pasar 1 yang terletak di Jalan Resimen Wonosobo, serta kompleks Pasar Sapen. Lokasi Pasar Sapen juga berfungsi sebagai tempat pembuangan kotoran kuda.
Meski tidak terlalu menjanjikan, Marmo mengaku akan tetap menjadi sais dokar hingga masa tuanya nanti. Dia bahkan dengan bangga menunjukkan surat izin mengemudi (SIM) dokar yang sudah habis masa berlakunya, yakni November 2006 lalu. Selain SIM Dokar, para pemilik sais juga harus mengantongi Surat Izin Operasional Dokar (SIOD).
Ketua Sais Dokar Kereta Jaya Wonosobo Ngadiyo (51) mengungkapkan, pada tahun 1980-an jumlah sais dokar di Wonosobo mencapai hingga 600 orang. Namun, sejak lima tahun terakhir ini jumlahnya terus berkurang. Saat ini hanya tersisa sekitar 250 sais. Ratusan sais terpaksa memilih beralih pekerjaan lain.
”Sekarang banyak hijet (angkutan kota) dan honda (ojek). Terminal induk buat dokar juga sudah enggak ada. Dokar kayak anggang-anggang di kolam, enggak naik enggak turun,” katanya.
Bagi Ngadiyo, mati hidupnya transportasi tradisional di Wonosobo ini juga sangat bergantung pada kepedulian pemerintah. Selain memberi wilayah bagi dokar untuk beroperasi di wilayah yang tidak berebutan dengan angkutan kota, pemerintah setempat diharapkan membantu para sais setidaknya untuk mendukung operasional koperasi sais.
Rohim (40), yang beberapa tahun lalu menekuni pekerjaannya sebagai sais dokar, mengaku terpaksa melepas pekerjaannya dan memilih menjadi juru parkir di sekitar Pasar Induk Wonosobo. ”Sekarang susah. Dulu saya beli dokar Rp 5 juta sudah dapat yang istimewa, komplet dengan kudanya. Jalan satu tahun sudah kembali modalnya. Beda dengan sekarang, tiga sampai empat tahun baru kembali,” ujarnya.
Sukardi (52), sais dokar yang juga pernah menjadi Ketua Sais Dokar Wonosobo, menyebutkan, di tahun 1980-an dokar Wonosobo mengalami masa kejayaan. Ketika itu belum ada angkutan umum seperti sekarang. Hampir semua warga menggunakan jasa dokar. Karena itu, memiliki dokar di zaman itu sangat menjanjikan. Bahkan di kampungnya, kelurahan Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, ada lebih dari 25 dokar. ”Satu rumah bisa punya dua sampai tiga dokar. Saya bisa menyekolahkan anak sampai lulus SMA,” katanya.
Demikian dekatnya dokar dengan rakyat, sampai-sampai setiap tahun ada lomba cerdas cermat khusus untuk sais dokar. ”Saya pernah dapat piala,” ujar Sukardi menunjukkan lima piala yang diterimanya sekitar tahun 1980 hingga 1990.
Saking banyaknya dokar ketika itu, operasional dokar dibagi dua, yakni pagi sampai sore dan sore sampai malam. Dokar yang beroperasi malam diberi tanda roda putih dan harus dilengkapi dengan lentera sebagai penerangan dan lonceng untuk bel.
Kini, seiring berjalannya waktu, dokar pun mulai tergusur. Dokar tidak lagi menjadi transportasi utama di Wonosobo. Menurut Sukardi, agar dokar tetap hidup, ada kesepakatan di antara sais dan sopir angkutan kota, yakni angkot tidak boleh menarik penumpang di ruas jalan tertentu yang disepakati sebagai wilayah penumpang dokar.
Jumlah terus menurun
Data dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo, empat tahun terakhir ini menunjukkan tren penurunan jumlah dokar. Pada tahun 2009 jumlah dokar yang terdata 301 dokar, tahun 2010 sebanyak 267 dokar, tahun 2011 sebanyak 230 dokar, dan 2012 terdapat 200 dokar.
Untuk membantu para sais, pada tahun 2001 atau sekitar 12 tahun lalu Pemkab Wononobo pernah memberikan bantuan stimulan sebesar Rp 150 juta yang diberikan melalui Koperasi Mega Gotong Royong (Komegoro) yang beranggotakan sais dokar. Bantuan ini untuk kesejahteraan anggota dan istri sais dokar dalam bentuk usaha ekonomi produktif.
Pemkab Wonosobo sendiri hingga sejauh ini tidak punya program khusus untuk mempertahankan eksistensi dokar. Namun, Bupati Wonosobo Kholiq Arief menyebutkan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo sejak tahun lalu menyiapkan 15 unit dokar yang beroperasi di kawasan obyek wisata Dieng Plateau pada saat libur hari raya dan kegiatan-kegiatan pariwisata.
Setiap tahun, melalui Badan Lingkungan Hidup, juga dialokasikan anggaran bantuan kantong kotoran kuda dan sorok untuk membersihkan kotoran kuda bagi dokar untuk mendukung kebersihan kota. Di samping itu, ada upaya-upaya pembinaan dari instansi terkait, seperti Satpol PP dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Wonosobo, bagi sais dokar dalam rangka ketertiban, baik dalam menggunakan jalur maupun mendukung kebersihan lingkungan.
Kini, nasib dokar bergantung pada dukungan pemerintah setempat. Sekuat apa pun para sais bertahan dari derasnya tekanan transportasi modern, tetapi tanpa ada dukungan pemerintah setempat, lambat laun transportasi andalan yang melegenda di Wonosobo ini akan punah, hanya tinggal kenangan.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR