Pada penghujung tahun 2013 Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis sebuah laporan yang merekam buruknya tata kelola kehutanan di Riau karena "pemerintah Indonesia membiarkan korporasi menebang hutan alam, merampas hutan tanah rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal logging, dan perusakan ekologis."
Sepanjang tahun 2013 lalu, hutan alam masih terus ditebang oleh korporasi berbasis tanaman industri dan korporasi perkebunan kelapa sawit. Dalam catatan setebal 23 halaman bertajuk Hutan Alam Riau Ditebang, Buruk Rupa Tata Kelola Kehutanan Indonesia ini pula terlihat, deforestasi semakin meningkat di 2013.
Selama kurun 2012-2013, total 252.172 hektare hutan alam dihancurkan oleh korporasi berbasis tanaman industri, dibanding tahun sebelumnya deforestasi sebesar 188.000 hektare. "Ada peningkatan sekitar 64 ribu lebih deforestasi terjadi dibanding tahun 2012," papar Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari, dalam siaran persnya, Selasa (31/12).
Kini sisa hutan alam sekira 1,7 juta hektare atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau (8,9 juta hektare). Data Jikalahari menunjukkan bahwa tiga tahun belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197,8 (0,5 juta) hektare, dengan laju deforestasi per tahun 188 ribu hektare — setara dengan hilangnya 10.000 kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada hutan alam gambut yang seharusnya dilindungi.
Sikap pembiaran atau pengabaian pemerintah, kata Muslim, tentu saja keuntungan besar buat korporasi berbasis industri kehutanan dan menjadi bertentangan dengan komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen. "Cerita itu kembali terjadi sepanjang tahun 2013."
Muslim Rasyid mengatakan, lima kasus terbesar terkait kejahatan kehutanan di Provinsi Riau telah merugikan negara sebesar Rp3 triliun lebih.
Jikalahari sudah melakukan riset selama sepuluh tahun di Riau terkait korupsi pengadaan barang dan jasa serta korupsi di sektor kehutananan. Korupsi kehutanan, katanya tercatat menjadi kasus terbesar selama sepuluh tahun terakhir di Riau.
"Rapor" yang baik
Sebenarnya di tahun 2013 adalah juga sejumlah catatan perkembangan positif tata kelola kehutanan Indonesia. Seperti berbagai upaya kebijakan konservasi oleh perusahaan, yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyebab deforestasi hutan hujan tropis di Indonesia. Dua yang terbesar adalah di produksi kertas dan bubur kertas, serta kelapa sawit.
Pada bulan Februari 2013, Asia Pulp & Paper (APP), salah satu produsen kertas terbesar dunia menyatakan komitmen mereka untuk melindungi hutan yang bernilai konservasi tinggi dan hutan yang memiliki kandungan karbon tinggi di dalam wilayah konsesi mereka; juga mencegah konflik dengan masyarakat lokal dalam proses. Kebijakan ini diterapkan di semua wilayah perkebunan mereka di seluruh dunia. Langkah yang diambil oleh APP ini dinilai signifikan.
Sembilan bulan setelah APP menandatangani kebijakan konservasi hutan mereka, produsen kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar juga meluncurkan komitmen serupa. Jika berhasil, ini akan mampu mengubah industri kelapa sawit dunia, yang selama ini dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan tropis di dunia, terutama Indonesia.
Pada Mei, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan klaim terhadap jutaan hektare lahan hutan yang dianggap sebagai hutan negara dan memberikan hak kepada masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan adat mereka. Keputusan itu muncul setelah penilaian ulang terhadap UU Kehutanan tahun 1999. MK memutus bahwa hutan adat tidak harus diklasifikasikan sebagai Kawasan Hutan Negara.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR