Suhu kota-kota di Indonesia terbilang tinggi pada masa pancaroba ini. Data Accu Weather mencatat, suhu terasa hingga 37 derajat Celsius di Jakarta dan 44 derajat Celsius di Semarang pada siang-sore hari, Jumat (9/5).
Suhu tinggi pada masa pancaroba memang sesuatu yang normal. Namun, Climate Data World Bank menunjukkan bahwa suhu Indonesia secara rata-rata mengalami peningkatan dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Edvin Aldrian dan pakar meteorologi Institut Teknologi Bandung, Zadrach Ledoufij Dupe, mengatakan bahwa manusia berkontribusi pada peningkatan suhu tersebut.
Climate Data World Bank mengungkap bahwa suhu terendah sepanjang tahun rata-rata antara tahun 1900 - 1930 adalah 24,6 derajat celsius. Sementara, suhu tertinggi sepanjang tahun rata-rata adalah 25,4 derajat celsius.
Temperatur terus mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu antara 1960 - 1990, suhu terendah rata-rata adalah 25,4 derajat celsius, sementara suhu tertinggi rata-rata adalah 26,2 derajat celsius.
Antara tahun 1990-2009, suhu terendah rata-rata mencapai 25,9 derajat Celsius. Suhu tertinggi rata-rata mencapai 26,5 derajat Celsius. Temperatur terendah dalam kurun waktu itu melebihi temperatur tertinggi antara tahun 1900 - 1930.
"Peningkatan suhu paling terasa di kota-kota besar. Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat adalah salah satu yang mengalami peningkatan besar," ungkap Edvin saat dihubungi Kompas.com, hari Jumat (9/5).
Edvin mengungkapkan, BMKG melakukan pemantauan suhu minimum harian (mencatat suhu sekitar pukul 03.00 dini hari) dan suhu maksimum harian (mencatat suhu sekitar pukul 14.00 - 15.00) selama beberapa dekade.
"Suhu minimum meningkat cepat, sementara suhu maksimum lebih lambat. Akibat peningkatan ini, perbedaan suhu minimum dan maksimum semakin kecil. Ini memengaruhi fenomena angin darat dan angin laut sehingga turut berkontribusi pada panas yang dirasakan," urainya.
Zadrach mengatakan, peningkatan suhu juga menunjukkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim memang terjadi, berdampak di wilayah Indonesia dan tak terbantahkan lagi. Dan, manusia berkontribusi pada terjadinya hal tersebut.
"Tahun 1900, populasi Indonesia masih sedikit, kendaraan bermotor belum ada. Sekarang, populasi sangat besar, Jawa saja sudah 100 juta. Kebutuhan juga bertambah, kendaraan bertambah," kata Zadrach.
Iklim dipengaruhi oleh faktor hidrosfer, biosfer, atmosfer, dan geologi. Dalam kurun waktu 100 tahun belakangan, manusia Indonesia melakukan perubahan besar-besaran pada faktor-faktor tersebut.
"Kita mendirikan industri dan memakai kendaraan, melepaskan emisi, membuat atmosfer berubah. Kita membuka hutan, menambang, membuat permukaan bumi dan biosfer berubah. Sungai dibendung, waduk diurug, hidrosfer berubah," jelas Zadrach. "Iklim kita memang berubah dan manusia berperan dalam perubahan itu," ungkap Zadrach. Panas di kota besar, banjir, anomali cuaca merupakan beberapa wujud perubahan iklim di mana manusia ikut memacunya.
Apakah kemudian kita bisa mengembalikan kondisi? Zadrach mengungkapkan, "bisa." Caranya adalah meminimalkan aktivitas yang menghasilkan sesautu yang bisa mengubah faktor-faktor iklim.
"Kita harus kendalikan populasi. Program keluarga berencana itu menjadi penting. Kalau manusia bertambah, kebutuhannya juga terus bertambah, dan itu menekan lingkungan. Jangan lagi membuka hutan. Hutan, sawah, dan sungai harus dilestarikan," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR