Suatu ketika sang raja Dinasti Tang bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya ketika ia bertarung dengan musuh. Keesokan hari sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dengan menceritakan bentuk mahluk yang hadir dalam mimpinya.
Menteri mangatakan bahawa mahluk itu adalah harimau yang datang dari Barat (India). Raja kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika mahluk yang menyelematkan hidupnya. Kisah itu berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906).
Sejak saat itu harimau menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Biasanya makhluk mitologi Cina itu ditampilkan bersama penyulutan petasan untuk menakuti serta menghalau roh jahat, membawa keberuntungan dan kemakmuran.
Kita mengenalnya dengan nama Barongsai. Dalam tradisi Cina dikenal dengan wǔshī (舞狮) . Tari tradisi rakyat Cina ini sudah ada sejak abad 3 SM. Sebuah tradisi tari yang erat berhubungan dengan ilmu bela diri yang disebut kungfu. Pada masa awal, Barongsai menjadi bagian penting dalam pelbagai perayaan di Cina.
Awalnya barongsai merupakan representasi dari keberhasilan sebuah sekolah Kungfu dan dimainkan oleh para praktisi kungfu. Sebuah sekolah kungfu belum disebut sekolah kungfu apabila belum memiliki tim barongsai. Dalam membawakan tarian ini diperlukan kekuatan, stamina, kelenturan, keseimbangan dan kemampuan untuk memvisualisasikan serta memunculkan gerakan dan ekspresi dramatik.
Pemain Barongsai berjumlah dua orang yang masing-masing memegang bagian kepala dan menjadi ekor. Kepala barongsai sangat berat – biasanya dibebani logam, memerlukan bahu dan lengan yang kuat. Sedangkan pemain di bagian ekor lebih memerlukan kekuatan di pinggang dan kaki serta kecepatan ketepatan mengikuti gerak kepala barongsai.
Apabila Anda sempat menyaksikan film kungfu dengan tokoh utamanya adalah Wong Fei Hung dalam Once Upon a Time in China (1991), Barongsai digunakan sebagai alat berkomunikasi adu kekuatan antar perkumpulan kungfu se-Cina yang sedang giat-giatnya mengobarkan semangat revolusi melawan Dinasti Qing. Lalu, muncul tokoh legendaris Wong Fei Hung sebagai penari Barongsai yang handal.
Pada saat itu Barongsai memiliki fungsi sebagai wacana kekuasaan yang dimunculkan melalui representasi, simbol kekuatan dan ritus resistensi terhadap kekuasaan hegomoni. Selama beberapa abad, barongsai diturunkan dari guru di sekolah kungfu kepada muridnya. Barongsai pun kemudian menyebar bersama diaspora etnis Cina ke segala penjuru dunia.
Barongsai di Indonesia
Lain cerita di Cina tentu lain di Indonesia. Sejarah masuknya Barongsai ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Kemungkinan Barongsai muncul dan berkembang di Indonesia pada masa keemasan warga Cina masuk dalam kategori penduduk Hindia Belanda golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen).
Kita mengenal kata barongsai yang mengacu tari singa sekaligus tari naga (liong). Kata "barongsai" bisa sepenuhnya berasal dari Bahasa Hokkian "bu lang say" (舞龙狮) yang terdengar barongsai oleh orang pribumi. Namun, ada pula pendapat bahwa barongsai merupakan gabungan dari "barong" (kepala barong di Bali) dan "sai" (tarian).
Pada masa kolonial, para imigran Cina yang datang ke Indonesia sudah cukup mapan untuk mengadakan acara pertunjukan barongsai. Pada masa itu barongsai menjadi bagian dari kegiatan di klenteng-klenteng yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Saat itu pertunjukkan barongsai masih erat kaitannya dengan tradisi dan upacara keagamaan.
Tradisi Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan datang bersama para imigran Cina yang berasal dari Guangdong, melihat kecenderungan bentuk barongsai yang ada di Indonesia menggunakan gaya selatan, Nan Shi (Singa dari Selatan).
Barongsai pun muncul dalam banyak kesempatan perhelatan, Imlek, Cap Gomeh, Pehcun, perayaan pernikahan sampai ranah politik. Kecenderungan terbaru, barongsai muncul sebagai komoditas jajanan kaki lima yang permainannya muncul tanpa diundang dan sering disebut barongsai ”ngamen”. Praktek komersialisasi barongsai di mal-mal ditiru oleh berbagai barongsai mini yang menjajakan dirinya dengan mengetuk rumah-rumah dan toko-toko untuk memperoleh uang ala kadarnya.
Sebagai bagian sejarah seni, barongsai dinilai memiliki sejarah perjalanannya yang cukup panjang dengan pelbagai versinya. Sampai kemudian barongsai tiba di titik-titik daerah persebaran etnis Cina di seluruh dunia sebagai simbol pemertahanan budayanya.
Makanan, pakaian, dan gaya hidup dapat ’bersinkretis’ dengan budaya lokal. Begitu juga dengan meja abu, pemujaan leluhur, dan barongsai menjadi bentuk upaya untuk mempertahankan budaya tanah leluhur yang makna filosofisnya kurang dipahami oleh generasi muda. Kesenian ini pun menjadi sesuatu yang profan sebagai hiburan belaka, bahkan sampai dijajakan sembarang waktu di gang-gang pertokoan atau perumahan.
Selamat menikmati dan jangan lupa membawa angpao!
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR