Batu Nisan Andreas Victor Michiels (1797-1849) yang abadi di bekas Kerkhof Kebonjahe.
Saya termangu di hadapan nisan mungil putih yang tertancap di bekas Kerkhof Kebonjahe, Jakarta Pusat. Makam dengan hiasan vas bunga di atasnya itu bertuliskan “General Majoor A.V. Michiels” disusul baris di bawahnya “Balie 23 Mei 1849”.
Pada akhir Perang Jawa, Mayor Andreas Victor Michiels merupakan komandan pasukan gerak cepat ke-11 yang melakukan operasi militer untuk membasmi Dipanagara di Jawa tengah bagian selatan. Lelaki asal Maastrich itu mengawali karir militernya kala remaja pada Pertempuran Waterloo. Kemudian berjejak di Jawa pada 1817.
Pasukan Michiel pernah disergap oleh laskar Dipanagara yang bersembunyi di balik rerimbunan alang-alang di Kedu Selatan pada Mei 1827. Kala itu Michiels merupakan komandan pasukan gerak cepat ke-7 yang bermarkas di Wonosobo. Dalam catatan perwira semasa, laskar Dipanagara kerap menyerang dari balik rerimbunan alang-alang di tepian jalan. Kemudian mereka membentuk formasi bulan sabit yang memotong jalan sembari menembaki pasukan tentara Hindia Belanda.
Tijdschrift voor Nederlands Indie/Wikimedia Commons
Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels (1797-1849). Sketsa karya W.R van Hoevell.
Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels (1797-1849). Sketsa karya W.R van Hoevell. Komandan Pasukan Gerak Cepat Ke-11 pada akhir Perang Jawa. (Tijdschrift voor Nederlands Indie/Wikimedia Commons)
Michiels inilah yang nyaris menangkap Dipanagara saat melarikan diri di Pegunungan Gowong, kawasan barat Kedu pada 11 November 1829. Sebuah peristiwa yang terjadi tepat pada hari lahir Dipanagara—kado sial untuk Sang Pangeran di hari ulang tahunnya yang ke-44. Serdadu Belanda dan Arafura melakukan pengejaran di bawah komando Michiels.
Sang Pangeran pun berlari meninggalkan beberapa kudanya, tombak pusaka Kiai Rondan yang diyakininya memberi sinyal apabila ada bahaya, dan sekotak peti yang berisi busana perang suci. Kemudian, dia meloncat ke jurang dan bersembunyi di balik rerimbunan gelagah.
Sejak kejadian nahas itu Dipanagara berjalan kaki sepanjang hutan-hutan Bagelen, hidup terlunta-lunta, dan terserang malaria parah. Dia melakoni hidup sebagai pelarian perang bersama dua abdinya, Bantengwareng dan Roto. Mereka terdesak hingga ke Remo pada pertengahan Februari 1830, sebuah desa antara Bagelen dan Banyumas.
Sebelum peristiwa sial itu, laskar Dipanagara mengahadapi pertempuran terakhir dan salah satu yang tersengit di Siluk, kawasan karst di barat daya Yogyakarta, pada 17 September 1829.
Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV
Pangeran Dipanagara (1785-1855)
Pangeran Dipanagara (1785-1855) yang pasca pecahnya Perang Jawa pada 1825 memilih dipanggil dengan Sultan Ngabdul Khamid Erucakra. (Foto seizin Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/KITLV)
Pertempuran sengit itu membuat Dipanagara dan laskarnya tercerai berai. Sejak saat itu pula Sang Pangeran mundur ke barat, menyeberang Kali Progo dan tak pernah lagi menjejakkan kakinya di Tanah Mataram.
Kisah kesialan Sang Pangeran itu dicatat dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855 mahakarya Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan asal Inggris. Buku tersebut terbit pertama kali pada 2007, kemudian disusul oleh edisi dalam bahasa Indonesia yang terbit pada 2012
Stelsel Benteng Jenderal De Kock memang menyulitkan gerak Dipanagara. Namun, sejatinya kekuatan koalisi laskar pangeran itu telah pecah.
Pada hari yang sama, di belahan rimba yang lain, ceceran laskar Dipanagara banyak yang putus asa dan memilih untuk menyerah. Basah Kerta Pengalasan—komandan brigade laskar Dipanagara yang gemar memadat—bersama tiga tumenggung dan sebelas perwira telah menyerah di Kedungkebo, kawasan yang kini dikenal sebagai Purworejo.
Bulan sebelumnya, sekitar pertengahan Oktober 1829, Senthot menyerah karena sudah tidak ada lagi dukungan rakyat. Lesunya dukungan rakyat itu lantaran Senthot diizinkan Dipanagara untuk memungut pajak. Ketika santri dan rakyat berkurang dukungannya, perang gerilya menjadi sulit. Sang Pangeran pun menjadi kesepian dalam pengembaraan perang.
Tropenmuseum/Wikimedia
Michiels Monument di Waterlooplein West. Bangunan di sisi kanan belakang adalah Roomsekerk, kini Ger
Michiels Monument di Waterlooplein West. Bangunan di sisi kanan belakang adalah Roomsekerk, kini Gereja Katedral. Foto oleh Isidore van Kinsbergen sekitar 1870. (Tropenmuseum/Wikimedia)
Setahun sebelumnya, pada November 1828, Kiai Maja memutuskan untuk menyerah kepada Belanda di lereng Merapi karena tidak sependapat dengan Dipanagara soal pendirian keraton dan keluhuran agama Islam.
Dipanagara pun kesepian ditinggalkan para pengikutnya di akhir perang lima tahun yang melelahkan. Kelak, setelah Sang Pangeran dijebak dalam sebuah pengkhianatan di Wisma Residen Magelang, dia harus menjalani kehidupan yang tragis sebagai tawanan perang di pengasingan. Dia tak pernah kembali ke Jawa.
“Dia punya badan sangat kuat, tetapi kecil dan agak pendek,” ujar Carey. Sebenarnya situasi militer sudah tak ada harapan, demikian kata Carey, tetapi Dipanagara masih bertahan untuk lolos. “Saya tidak mengerti dia bisa empat bulan hanya jalan kaki. Ketika malam dia tidur didalam gua atau di bawah pohon. Bahkan, dia sering tidak bisa makan.”
Mahandis Y. Thamrin/NGI
Batu Nisan Andreas Victor Michiels (1797-1849) yang abadi di bekas Kerkhof Kebonjahe.
Batu Nisan Andreas Victor Michiels yang abadi di bekas Kerkhof Kebonjahe, kini Museum Taman Prasasti. Pada akhir Perang Jawa, Michiels bertugas sebagai komandan tentara Hindia Belanda untuk pasukan gerak cepat ke-11 dan bermarkas di kawasan Wonosobo. Michiels dan pasukannya melakukan operasi pengejaran di Ledok dan Gowong. Michiels tewas dalam ekspedisi militer di Pantai Kusamba, Klungkung, Bali. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Perang Jawa telah meminta tumbal nyawa yang mengerikan. Taksirannya, sekitar 200.000 orang Jawa binasa sehingga penduduk Yogyakarta tinggal separuh. Sementara itu sekitar dua juta orang lainnya hidup sengsara. Ternak habis dan pertanian rusak berat. Sekitar 15.000 serdadu Hindia Belanda hilang dan tewas. Hampir separuhnya serdadu pribumi. Belanda pun nyaris bangkrut!
Pasca-Perang Jawa, Michiels bertugas dalam Perang Padri. Sekitar empat tahun setelah Dipanagara menempati pengasingan barunya di Makassar, Michiels menjabat sebagai Gubernur Pantai Barat Sumatra. Pangkat mayor jenderal mulai menghias dada kirinya sejak 1843. Karena kegemilangan prestasinya, dia menjabat sebagai komisaris pemerintahan urusan Bali dan komandan KNIL dalam sebuah ekspedisi militer di Bali pada awal 1849.
Pada suatu malam, Michiels terbunuh dalam sebuah serangan laskar Bali di perkemahan militer Hindia Belanda dekat Pantai Kusamba, Klungkung. Nasibnya berakhir tragis, lima hari sebelum dia menerima kado ulang tahunnya yang ke-52.
REKOMENDASI HARI INI
Shotel, Pedang Lengkung Bermata Dua yang Penting bagi Sejarah Afrika
KOMENTAR