2 September 2013
Dekat Rabigh, Arab Saudi, 22°49\'15" N, 39°04\'43" E
“Sultan menyeberang untuk menyongsong Umbrausha, unta yang tengah saya tunggangi. Ia hewan yang menakjubkan, turunan ras murni nan tersohor dari Oman.”
—Sir Wilfred Thesiger, di Arabian Sands
Seema dan Fares, dua unta jantan kami, bukan turunan ras murni nan tersohor dari Oman.
Mereka unta beban kelas pekerja dari Sudan. Di dunia unta, mereka ibarat pikap Ford F-150s yang babak belur. Tetap saja, seperti truk tua, mereka cenderung membangkitkan loyalitas. Dan seperti lelaki sebaya, kami kadang melewatkan sore dengan memandikan mereka di halaman tenda.
Watak asli mereka langsung terlihat dalam ritual mandi ini.
Fares, yang berusia lima tahun, bak sesepuhnya unta. Ia mengidap gangguan yang disebut pimpinan kafilah kami, Awad Omran, “kaki berat”—semacam ungkapan halus untuk kemalasan yang tak terobati. Seember air hangat kami tuangkan ke atas punuk gemuknya. Kami gosok-gosok bulunya yang dekil dan awut-awutan. Pada momen-momen ini, ia memejamkan keenam kelopak matanya (satu kelopak tambahan yang melapisi tiap mata, berjuluk membran pengedip mata, menjadi perisai dari tiupan pasir), menikmatinya dengan sepenuh hati. Digulingkannya pundak di bawah jari-jari kami dengan kebahagiaan murni. Air liurnya menetes tak terkendali.
Seema, si remaja unta yang berusia tiga tahun, tak suka diatur-atur. Namun, ia menyukai muslihat usil dan kekanak-kanakan. (Misalnya, mencaplok kepala Anda di saat lengah.) Ia menanggapi ritual mandi kami seperti anak kecil pada umumnya: seolah itu larutan asam, antraks beracun, atau minyak mendidih. Ditindih dalam posisi meringkuk dengan agal—ikat kepala yang dikenakan lelaki Saudi secara simbolis di sekeliling penutup kepala—terikat di leher, ia tiba-tiba menggoyangkan naik lututnya yang tertekuk. Diseretnya kakinya pergi, sambil melenguh dramatis seperti dinosaurus. Yah, dimaklumi saja. Ketika basah, Seema terlihat menyusut. Sosoknya jadi mirip Chihuahua kuyup.
Kami terhuyung-huyung mengejarnya, mengumpat dalam dua bahasa. Lantas saya tersadar bahwa hanya saya yang tertawa. Saya pun bergegas tutup mulut.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR