Nationalgeographic.co.id - Sejak awal NASA dibentuk, pada tahun 1958, salah satu hal yang selalu menjadi pusat perhatian NASA adalah Matahari. Sering terlontar juga keinginan untuk mengunjungi Matahari sebagai proses pembelajaran. Ya, impian tersebut telah muncul sejak 60 tahun yang lalu dan bukannya tidak mungkin bila hal ini bisa saja terwujud.
Keingintahuan tersebut tidak lepas dari hipotesis Eugene Parker, mahasiswa dari Univeritas Chicago mengenai aliran supersonik yang dilepaskan dari Matahari. Aliran supersonik yang diisi dengan partikel bermuatan inilah yang dikenal sebagai angin Matahari. Misteri siklus 11 tahun matahari dan bagaimana angin Matahari terbentuk menjadi salah satu alasan untuk mengeksplorasi Matahari.
Baca Juga : Club 27, Musisi-musisi Terkenal Dunia yang Mati Muda di Usia 27 Tahun
Namun, hal tersebut bukanlah perkara mudah. Terutama pada awal kelahiran NASA, ketika perang dingin berlangsung antara blok barat (US) dengan blok timut (Uni Soviet). Hal ini kemudian berdampak pada apa yang menjadi prioritas NASA saat itu.
Meskipun demikian, eksplorasi Matahari tetap menjadi bagian dalam rencana jangka panjang NASA. Dalam perencanaan itu, NASA mengusulkan wahana penjejak Matahari yang dilengkapi dengan pengukur radiasi dan magnetometer. Dengan harapan, wahana tersebut akan mempelajari sang surya dari orbit Merkurius. Akan tetapi ide tersebut kemudian tenggelam di antara 200 proposal misi lainnya yang diajukan oleh NASA.
Pada tahun 1962, misi menuju Matahari itu pun akhirnya dimulai ketika NASA meluncurkan Observatorium Pengorbit Matahari yang diluncurkan ke orbit Bumi rendah dengan roket Delta. Delapan wahana pengorbit Matahari diluncurkan dari tahun 1962 – 1975 untuk melakukan pengamatan siklus 11 tahun Matahari pada panjang gelombang ultraviolet dan sinar-X.
Kemudian, pada tahun 1978, para astronom NASA mengemukakan ide untuk meluncurkan wahana yang akan menjadi sarana pengamatan pada jarak beberapa juta kilometer dari Matahari. Jarak ini bahkan lebih dekat dari jarak yang akan dicapai Wahana Parker, yakni 6,2 juta km dari fotosfer Matahari.
Karena teknologi saat itu tidak memadai untuk bisa melindungi wahana antariksa dari panas Matahari maupun gempuran angin Matahari, maka misi tersebut dibatalkan. Pembahasan ini sempat muncul kembali pada awal abad ke-21. Namun lagi-lagi dibatalkan karena masalah dana dan kebutuhan restrukturisasi NASA.
Pada tahun 2005, titik cerah tampak dalam ide ini. Mimpi yang lama terkubur pun kembali menjadi pembahasan. Gayung bersambut, ide ini pun mendapat pembiayaan pada tahun 2009. Wahana ini kemudian diberi nama Solar Probe Plus, sebelum akhirnya pada tahun 2017 diganti dengan Parker Solar Probe. Nama yang diambil dari nama astrofisikawan Eugene Parker yang mempostulatkan keberadaan angin Matahari.
Tanggal 12 Agustus 2018, para ilmuwan di Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory merancang Wahana Parker yang akhirnya diluncurkan dengan roket Delta-IV Heavy dari Cape Canaveral, Florida. Setelah diluncurkan, roket Delta-IV akan menempatkan Parker pada orbit Bumi rendah.
Setelah Parker menempuh setengah orbitnya, wahana ini kemudian ditolak ke arah berlawanan dengan gerak orbit Bumi. Parker menggunakan gaya gravitasi dan gerak orbit Venus untuk bisa mendekati Matahari.
Source | : | Langit Selatan |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR