Nationalgeographic.co.id - Teriknya hawa matahari dan bau busuk mewarnai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Tangerang. Kecoa berukuran besar pun mendominasi populasi hama di kawasan yang luasnya sekitar 35 hektar tersebut. Setiap menit, truk akan datang dengan membawa limbah, sedangkan ekskavator menimbun gunungan sampah yang semakin hari semakin tinggi.
"Setiap hari sekitar 1.500 ton sampah datang ke sini dan 15-20%nya adalah plastik," ucap Sugianto Tandio yang terpaku melihat timbunan sampah plastik tersebut.
Karena plastik membutuhkan waktu antara 500 hingga 1000 tahun untuk terurai, setiap sampah yang berada di Tangerang dipastikan akan menjadi masalah warisan untuk generasi yang mendatang.
"Bahkan hari ini, sepertiga ikan di samudera Bumi sudah mengandung plastik mikro. Bayangkan saja, setiap kali mengonsumsi makanan laut, Anda harus memilih tiga ikan yang bisa dimakan dan yang tidak boleh. Ini bukan masalah yang bisa kita wariskan untuk anak cucu. Generasi saat ini harus mengambil langkah konkret," ucap Tommy Tjiptadjaja.
Baca Juga : Hari Ayah Nasional, Bagaimana Sejarah Hari Ayah di Indonesia?
Melihat hal tersebut, Tommy dan Tandio pun mendirikan Greenhope, sebuah perusahaan yang berusaha mengembangkan plastik alternatif ramah lingkungan. Salah satu produk ciptaan mereka yang berhasil adalah Ecoplas--terbuat dari polimer biologis dari tapioka.
Mereka optimis mengembangkan cara ini karena tapioka yang terbuat dari singkong mudah diproduksi di berbagai negara tropis dengan tingkat konsumsi plastik dalam jumlah yang besar. Selain itu, menurut Tandio, plastik dari singkong tersebut bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi para petani kecil di negara-negara miskin.
Ecoplas sendiri terlihat seperti kantung plastik biasa. Yang membedakannya adalah tulisan di permukaannya yang menyebut singkong sebagai bahan dasar pembuatan kantung plastik tersebut.
Walaupun sudah tumbuh dengan sangat pesat, perusahaan tersebut kesulitan untuk menurunkan biaya produksi Ecoplas yang sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan plastik tradisional. Maka dari itu, masih banyak konsumen yang masih enggan untuk membeli plastik yang ramah lingkungan.
Baca Juga : Berkaki Delapan dan Memiliki Kepala Menyerupai Kepala Anjing
Untuk mengatasinya agar lebih murah, Tommy dan Tandio membentuk sebuah tim penelitian dan pengembangan yang sejauh ini sudah berhasil menemukan senyawa adiktif yang bernama Oxium.
Apabila ditambahkan ke dalam campuran berbahan pembuat plastik, zat tersebut membatasi usia plastik konvensional menjadi hanya 2 tahun.
Dengan Oxium, plastik dapat diproduksi secara konvensional dengan tambahan ongkos produksi hanya sebesar 2 hingga 5 persen saja. Walaupun tidak ideal, penemuan tersebut dapat membuat plastik sekali pakai di banyak negara miskin menjadi lebih ramah lingkungan.
Source | : | Kompas.com,Deutsche Welle |
Penulis | : | Loretta Novelia Putri |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR