Ketika Masyarakat Tuli-Bisu Menari di Desa Bengkala

By National Geographic Indonesia, Senin, 26 November 2018 | 15:00 WIB
(Kurniawan Mas'ud)

Nationalgeographic.co.id - Di sebuah dunia yang normal, para penari bergoyang mengikuti iringan dan tabuhan musik. Di dunia tuli-bisu, para penabuh menyesuaikan musik pengiring dengan lenggak-lenggok sang penari. Hasilnya sama: sebuah tarian yang memikat.

Siang itu, area Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala, hasil kerja sama PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai dengan FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali, ramai dengan orang-orang hilir-mudik. Anak-anak dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, berkumpul di wantilan, gazebo utama dan terbesar, di tengah KEM. Para perempuan telah siap dengan selendang yang mengikat di pinggang mereka. Sementara, para lelaki duduk-duduk di tepian wantilan, mengamati dengan tertarik apa yang para perempuan hendak lakukan.

Salah seorang perempuan dewasa memberikan aba-aba dengan bahasa isyarat agar semua perempuan memusatkan perhatian pada dirinya. Nama perempuan itu adalah Pande Wayan Renawati. Ia adalah dosen Teologi Susastra Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, yang juga adalah anggota FlipMas Ngayah Bali Divisi Kebudayaan dan Rohani.

Baca Juga : Temuan Kuburan Massal, 230 Kerangka Ditemukan Saat Penggalian Fondasi

Hari yang panas itu kemudian menjadi tentram dan damai karena situasi yang semula riuh, menjadi sunyi. Di wantilan itu, para perempuan yang semuanya kolok sedang melakukan pelatihan yoga, dipimpin oleh Ibu Pande yang memandu gerakan yoga dengan bahasa tubuhnya.

“Awalnya, pada 2016, saya dipercaya untuk mempersiapkan sesajen di Bengkala tiap kali ada acara-acara, karena sesuai dengan ilmu saya yang berkaitan dengan keagamaan. Namun, ketika akhirnya masuk di Divisi Kebudayaan dan Rohani di FlipMas Ngayah Bali ini, saya berpikir ulang, apa yang harus saya lakukan untuk Bengkala, yang sekiranya mereka juga butuhkan. Singkat kata, akhirnya saya ingin mengembangkan yoga. Padahal, awalnya, terus terang, saya tidak begitu paham tentang yoga,” tutur Ibu Pande.

Wantilan. (Kurniawan Mas'ud)

Pemicu utama Ibu Pande memilih yoga adalah karena kenyataan bahwa kehidupan di Desa Bengkala kadang-kadang sulit dan kekurangan sehingga menyebabkan mereka menjadi sangat sensitif dalam hidup, terutama bagi masyarakat kolok. Yoga diharapkan mampu menjadi jalan bagi masyarakat untuk bermeditasi, menenangkan diri, mendamaikan jiwa, serta membangun kepercayaan diri. Dan, kembali kepada Enam Filsafat Agama Hindu (Sad Darsana), yoga diharapkan menjadi salah satu cara untuk menghubungkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui gerakan-gerakannya.

“Ada sekitar 35 gerakan, yang saya klasifikasikan menjadi beberapa tahap: pemanasan, dasar yoga, konsentrasi yoga, dan pendinginan. Saya mendapatkan inspirasi semua gerakan yoga ini setelah saya berdoa. Semakin sering saya datang ke Bengkala, semakin banyak gerakan yang akhirnya lahir. Lewat gerakan-gerakan yoga ini, saya ingin masyarakat kolok terutama lebih berbahagia. Sekarang, ada kepuasan tersendiri kalau melihat mereka tertawa bahagia selepas yoga,” cerita Ibu Pande.

Ibu Pande. (Kurniawan Mas'ud)

Tidak berhenti pada pelatihan yoga saja, gerakan-gerakan yoga tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah tarian bernama Tari Yogi Nandini—juga ciptaan Ibu Pande. Semua ini agar supaya KEM Kolok Bengkala mampu mendukung masyarakat dengan menyediakan program-program yang berkelanjutan.

“Saya menggarap Tari Yogi Nandini sekitar 6 bulan. Kalau peserta yoga mencapai hingga 15 orang, penari untuk Tari Yogi Nandini biasanya lima orang; 3 orang normal dan 2 orang kolok,” ucap Ibu Pande.

Gerakan-gerakan pada Tari Yogi Nandini pada dasarnya sama dengan gerakan-gerakan yoga. Kenapa bernama Tari Yogi Nandini? Sebab, yogi artinya orang yang melaksanakan yoga dengan penuh kepercayaan diri, suka cita, dan penghayatan jiwa raga. Sementara, Nandini yang artinya “menyenangkan” adalah simbol lembu betina yang melambangkan tak kenal takut dan kuat. Sama seperti Nandini dalam ajaran agama Hindu aliran Siwa. Jadi, gerakan Tari Yogi Nandini mencerminkan tarian yang penuh penghayatan dan kekuatan. Semua bermuara pada tujuan khusus agar masyarakat yang belajar tarian ini hatinya bisa menjadi lebih damai dan bahagia.

Jika Tari Yogi Nandini masih dalam tahap penyempurnaan dan belum pernah dipentaskan di depan umum sebelumnya, lain lagi dengan Tari Jalak Anguci dan Tari Bebile ciptaan Ibu Dayu. Bernama lengkap Ida Dayu Tresnawati, perempuan yang sama kreatifnya dengan Ibu Pande adalah anggota FlipMas Ngayah Bali bidang Kesenian, khususnya berkaitan dengan kesenian di Desa Bengkala. Ia sejak 2017 terlibat dalam pemberdayaan kesenian di Bengkala melalui tari-tarian.

“Tahun 2017, kami membuat program kesenian khususnya seni tari dari kelompok KEM, yaitu masyarakat kolok. Mereka memang tidak bisa berbicara atau mendengar, tapi potensi dan keinginan masyarakat kolok untuk berkembang melalui tarian itu ada terlihat di mata mereka,” kata Ibu Dayu tentang awal mula terlibat dalam program KEM Kolok Bengkala.

Ibu Dayu. (Kurniawan Mas'ud)

Hingga kini, ada dua tarian yang telah diciptakan oleh Ibu Dayu. Keduanya adalah Tari Jalak Anguci dan Baris Bebek Bingar Bengkala (Bebile). Tari Jalak Anguci terinspirasi dari burung jalak, lebih spesifik lagi penangkaran burung jalak di Desa Subak, Badung, milik PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai. Jalak artinya burung, dan anguci artinya suara yang merdu. Ini menjadi perumpamaan bahwa biarpun para penari Jalak Anguci kolok, mereka bisa tetap berkomunikasi lewat tarian. Tarian ini diciptakan dalam waktu 2 bulan dan berdurasi sekitar 7-8 menit. Jalak Anguci ditarikan oleh dua perempuan kolok, bernama Luh Budarsih (19 tahun) dan Komang Reswanadi (13 tahun).

Sementara, Tari Baris Bebek Bingar Bengkala (Bebile) menggambarkan semangat dari masyarakat kolok yang tetap ceria melakoni apa saja yang ada dalam hidup mereka. Ibu Dayu menggarap gerakan tarian ini dalam waktu 3 bulan. Berdurasi sekitar 8 menit, Bebile ditarikan oleh 7 lelaki yang kesemuanya kolok, yaitu I Wayan Ngarda, Wayan Sumendra, Made Subentar, Putu Juliarta, Made Karyana, Sugita, dan Made Sudarma.

Alat musik pengiring tarian. (Kurniawan Mas'ud)

Kedua tarian ini diiringi oleh pemusik yang bisa mendengar dan berbicara yang terdiri dari 7 lelaki dan memegang alat musik yang berbeda-beda. Mereka adalah Ketut Ardike (kecek), Made Sumertanu (gong), Wayan Sumarta (suling), Jero Mangku Sayang (suling), Wayan Rediaka (kendang), Wayang Sutama (suling), dan Made Srikita (petuk dan kenang). Seperti selayaknya orang-orang normal di Desa Bengkala, mereka rata-rata mengerti dan bisa berbicara dalam bahasa isyarat.

“Bisa bahasa isyarat kolok, tapi kalau untuk mengiringi tarian ini, biasanya supaya tarian dan musik harmonis, antara penabuh dan penari itu kode-kodean. Antara penabuh mengangguk-angguk atau gerakan tangan, biar penari bisa lihat,” Wayan Rediaka pada kendang memberi bocoran.

Nuansa yang terpancar dari kedua tarian tersebut jauh berbeda dari kesyahduan Tari Yogi Andini. Tari Jalak Anguci dan Bebile menggunakan musik pengiring langsung dari permainan kelompok tabuh, sementara Tari Yogi Andini menggunakan rekaman musik.

Ketika sore itu akhirnya Tari Jalak Anguci dan Bebile ditampilkan di wantilan, banyak orang dari luar KEM kemudian berkumpul karena terpancing oleh genta gong, tepakan kendang, pukulan gendang besar, siulan suling, dan alat-alat musik lain yang bergaung di udara. Keriuhan kedua tarian ini tidak mereda hingga tarian selesai.

(Kurniawan Mas'ud)

Bagi Ibu Dayu, awal mengajar masyarakat kolok cukup menantang, sebab ia sendiri semula tidak bisa berbahasa isyarat. Namun, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ada Pak Kanta yang membantunya menjembatani komunikasi antara dirinya dan penari kolok. Dengan semangat yang mereka miliki, mereka dengan cepat memahami gerakan-gerakan tari. Beruntung pula, kini teknologi sudah maju. Ibu Dayu merekam gerakan-gerakan tari tersebut di ponsel, lalu diperlihatkan kepada para penari sembari berlatih gerakan dasar.

“Walaupun mereka tidak bisa mendengar dan berbicara, tapi bermain ponsel mereka sudah biasa. Jadi, mereka belajar gerakan dari video yang aku kirimkan, biasanya lewat WhatsApp,” cerita Ibu Dayu lega.

Gerakan tarian dibuat sederhana, sehingga para penari kolok mampu mengikuti dan mencerna apa yang diajarkan. Keunikannya adalah jika selama ini dalam tarian, penari mengikuti melodi musik, kini para pemusiklah yang menyesuaikan gerakan penari yang kolok, tentu tetap disesuaikan dengan aba-aba dari para pemusik.

Baca Juga : Kisah Pekerja Perempuan Menyusui dan Kebutuhan Laktasi Sebagai Hak

“Terjadi ketidaksinkronan itu sering. Memang tidak bisa sempurna seperti orang normal, tapi karena penabuh memberi kode dan penari menerima kode, kadang-kadang tarian tetap terlihat indah. Kalau lihat dari kejauhan, bahkan kadang-kadang ada yang tidak tahu kalau para penari ini sebetulnya kolok,” cerita Ketut Kanta, seorang tokoh masyarakat yang juga adalah Ketua Kelompok KEM I Kelodan, Desa Bengkala.

Dukungan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai terhadap kelompok tari KEM Kolok Bengkala ini juga sangat besar. Tiap kali ada acara yang cocok, para penari ini akan diundang untuk mengisi acara. Di luar kegiatan mereka sehari-hari sebagai petani, buruh, dan lain-lain, masyarakat kolok yang memiliki passion di bidang tarian, kini dapat mengeksplorasi bakat dan kemampuannya melalui pelatihan ini.

Diharapkan, dengan berkembangnya seni dan budaya, Desa Bengkala akan segera siap untuk menjadi desa wisata. Dalam waktu panjang, masyarakat kolok akan lebih berdaya terutama di bidang ekonomi. Mereka mampu.

Penulis: Astri Apriyani