Semangat Mendidik dan Membangun Potensi Anak Berkebutuhan Khusus

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 6 Desember 2018 | 16:55 WIB
Keceriaan ABK di sekolah inklusi Hidayah setelah melakukan prakarya. (Ade/National Geographic Indonesia)

Di ruangan seluas 2x4 meter, anak-anak berkebutuhan khusus di Desa Tegalluar bersekolah. (Ade/National Geographic Indonesia)

Kelas luar biasa

Di ruangan seluas 2x4 meter di rumah Yuli lah, 26 anak berkebutuhan khusus di desa Tegalluar kini bersekolah. Tanpa meja dan kursi, mereka berdesakan sambil mendengarkan arahan dari guru-gurunya selama dua hingga tiga jam. Memang tidak semua anak bisa mengikuti dengan baik––beberapa anak sibuk sendiri. Arul, salah satu murid dengan autisme bahkan selalu ‘menempel’ salah satu guru dan harus terus diperhatikan agar tidak melukai diri sendiri ketika tantrum.

Kegiatan di sekolah inklusi Hidayah memang tidak bisa disamakan dengan sekolah lainnya. Yuli mengatakan, ia tidak ingin memaksakan kemampuan anak berkebutuhan khusus ini. “Meskipun mengikuti kurikulum 2013 yang dilakukan SLB lain, tetapi kami menyesuaikan dengan kemampuan setiap anak,” paparnya.

Bersama dengan program Dreamable dari PT Pertamina TBBM Bandung Group, kegiatan belajar mengajar yang berjalan di Sekolah Inklusi Hidayah ini lebih menitikberatkan pada upada pembinaan diri. Pukul 9 pagi, mereka biasanya belajar makan­––dimulai dari mengenalkan berbagai jenis makanan seperti ikan, ayam, dan telur, hingga melatih mereka agar bisa memegang sendok dan makan sendiri tanpa disuapi. Bagi kita, kebiasaan makan ini adalah hal yang mudah. Namun, untuk anak-anak berkebutuhan khusus, perlu waktu yang lama agar mereka benar-benar bisa melakukannya. Itupun harus terus dilatih secara berkala.

Dipandu gurunya, Iksal (11) dipandu gurunya melakukan senam pagi. (Ade/National Geographic Indonesia)

Sama seperti makan, mereka juga diajarkan untuk mandi sendiri. Banyak ABK yang tidak terbiasa untuk mengurus tubuhnya karena terbiasa dimanjakan atau bahkan ditelantarkan oleh orangtuanya. Oleh sebab itu, Yuli dan kelima guru di sekolah, benar-benar harus mengajarkannya dari awal. Mulai dari membuka baju, memakai sabun, hingga mengenakan baju kembali.

Selain membina diri, anak-anak ini juga diajarkan salat, menghapal doa dan surat-surat pendek. Mereka juga berlatih membaca dan menulis, olahraga, dan mencoba mengenal lingkungan sekitarnya dengan kegiatan di luar ruangan.

Hal ini disambut dengan baik oleh orang tua murid. Wati, ibu dari Abdil Syafa’at yang mengalami kesulitan berbicara, merasa senang dengan adanya sekolah nonformal yang dibuat Yuli. Ia merasa, perkembangan anaknya semakin baik.

“Abdil kan berhitungnya jago. Nah di sekolah ini jadi dikembangkan lagi kemampuannya. Dia juga jadi semangat dan setiap hari saya antar terus ke sekolah. Kalau anaknya saja semangat, masa ibunya nggak?” papar Wati.

Iksal, salah satu murid ABK, mengidap penyakit DMD sehingga tidak bisa berjalan lagi. (Ade/National Geographic Indonesia)

Sambutan positif juga datang dari Ida Reni. Anaknya, Iksal Syahreza mengidap DMD (Duchenne Muscular Dystrophy) yang membuat otot-ototnya melemah seiring bertambahnya usia. Saat ini, Iksal kehilangan kemampuan berjalan.