Semangat Mendidik dan Membangun Potensi Anak Berkebutuhan Khusus

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 6 Desember 2018 | 16:55 WIB
Keceriaan ABK di sekolah inklusi Hidayah setelah melakukan prakarya. (Ade/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id – Suara nyaring terdengar saat National Geographic Indonesia mengunjungi Sekolah Inklusi Hidayah di Desa Tegalluar, Bojongsoang, Bandung. Belasan anak berkebutuhan khusus (ABK) sedang melantunkan surat-surat pendek dalam Alquran sebelum memulai aktivitas belajar. Mereka dapat melakukannya dengan baik dan penuh semangat hingga akhir.

Butuh perjuangan panjang hingga anak-anak ini bisa melantunkan doa tersebut. Setiap Senin hingga Kamis, sejak tahun 2015, Yulianti, sang pendiri, berusaha untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di desanya secara sukarela. Ia bahkan tidak mendapat uang satu rupiah pun dari kegiatan mengajar tersebut.

Bukan tanpa sebab Yuli rela melakukannya. Kisah Yuli bermula dari rumah dan keluarganya sendiri. Anak laki-laki Yuli, Hanif Nauval, merupakan seorang tuna grahita.

Baca Juga : Unik, Kerangka dari Abad Pertengahan Ditemukan Memakai Sepatu Bot

Wanita berusia 36 tahun ini melihat sendiri bagaimana perkembangan anaknya. Dari yang tadinya tidak bisa melakukan apa-apa, hingga saat ini sudah bisa makan dan mandi sendiri. Bahkan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu, mengangkat jemuran, dan mencuci piring.

“Saya jadi sadar bahwa anak berkebutuhan khusus ternyata bisa diarahkan, sehingga bisa mengurus dirinya sendiri. Mereka juga punya kelebihan lain yang bisa dikembangkan,” papar Yuli.

Setiap pagi, Yuli menjemput murid ABK dari rumahnya untuk bersekolah. (Ade/National Geographic Indonesia)

Melihat hal tersebut, Yuli tergerak untuk semakin mendalami––sering membaca buku––mengenai anak berkebutuhan khusus. Bahkan, ia memutuskan untuk kuliah dalam jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Islam Nusantara (UNINUS. Ia ingin mendidik anak-anak berkebutuhan khusus dan membuktikan kepada semua orang bahwa mereka juga bisa beraktivitas seperti yang lainnya.

Awalnya, sebagai pekerja sosial yang aktif di lingkungannya, Yuli mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di sekitar rumahnya. Ia cukup terkejut saat menemukan empat anak ABK dalam satu RT. Secara total, ada 36 anak penyandang disabilitas di Tegalluar––jumlah yang cukup banyak dalam sebuah desa kecil.

Tidak semua anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapat pendidikan yang sesuai, seperti yang Hanif dapatkan. Beberapa dari mereka bahkan dikurung di dalam rumah dan ditelantarkan oleh anggota keluarganya. Rasa malu menjadi salah satu penyebabnya.

Tanpa lelah, Yuli membujuk orang tua agar memasukkan anak mereka ke SLB. Namun hanya 12 orang tua yang mengikuti saran Yuli, sisanya menolak dengan berbagai alasan. Yang paling sering adalah tentang jarak rumah warga dengan SLB yang cukup jauh. Selain itu, orang tua juga enggan memasukkan anaknya ke sekolah inklusi karena sering mengalami perundungan dari anak-anak normal.

Mencoba menjawab persoalan, Yuli pun akhirnya merelakan rumahnya sebagai “sekolah” bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Karena tidak ada tempat, nggak apa-apa pakai rumah saya agar mereka bisa belajar,” ujarnya.

Di ruangan seluas 2x4 meter, anak-anak berkebutuhan khusus di Desa Tegalluar bersekolah. (Ade/National Geographic Indonesia)

Kelas luar biasa

Di ruangan seluas 2x4 meter di rumah Yuli lah, 26 anak berkebutuhan khusus di desa Tegalluar kini bersekolah. Tanpa meja dan kursi, mereka berdesakan sambil mendengarkan arahan dari guru-gurunya selama dua hingga tiga jam. Memang tidak semua anak bisa mengikuti dengan baik––beberapa anak sibuk sendiri. Arul, salah satu murid dengan autisme bahkan selalu ‘menempel’ salah satu guru dan harus terus diperhatikan agar tidak melukai diri sendiri ketika tantrum.

Kegiatan di sekolah inklusi Hidayah memang tidak bisa disamakan dengan sekolah lainnya. Yuli mengatakan, ia tidak ingin memaksakan kemampuan anak berkebutuhan khusus ini. “Meskipun mengikuti kurikulum 2013 yang dilakukan SLB lain, tetapi kami menyesuaikan dengan kemampuan setiap anak,” paparnya.

Bersama dengan program Dreamable dari PT Pertamina TBBM Bandung Group, kegiatan belajar mengajar yang berjalan di Sekolah Inklusi Hidayah ini lebih menitikberatkan pada upada pembinaan diri. Pukul 9 pagi, mereka biasanya belajar makan­––dimulai dari mengenalkan berbagai jenis makanan seperti ikan, ayam, dan telur, hingga melatih mereka agar bisa memegang sendok dan makan sendiri tanpa disuapi. Bagi kita, kebiasaan makan ini adalah hal yang mudah. Namun, untuk anak-anak berkebutuhan khusus, perlu waktu yang lama agar mereka benar-benar bisa melakukannya. Itupun harus terus dilatih secara berkala.

Dipandu gurunya, Iksal (11) dipandu gurunya melakukan senam pagi. (Ade/National Geographic Indonesia)

Sama seperti makan, mereka juga diajarkan untuk mandi sendiri. Banyak ABK yang tidak terbiasa untuk mengurus tubuhnya karena terbiasa dimanjakan atau bahkan ditelantarkan oleh orangtuanya. Oleh sebab itu, Yuli dan kelima guru di sekolah, benar-benar harus mengajarkannya dari awal. Mulai dari membuka baju, memakai sabun, hingga mengenakan baju kembali.

Selain membina diri, anak-anak ini juga diajarkan salat, menghapal doa dan surat-surat pendek. Mereka juga berlatih membaca dan menulis, olahraga, dan mencoba mengenal lingkungan sekitarnya dengan kegiatan di luar ruangan.

Hal ini disambut dengan baik oleh orang tua murid. Wati, ibu dari Abdil Syafa’at yang mengalami kesulitan berbicara, merasa senang dengan adanya sekolah nonformal yang dibuat Yuli. Ia merasa, perkembangan anaknya semakin baik.

“Abdil kan berhitungnya jago. Nah di sekolah ini jadi dikembangkan lagi kemampuannya. Dia juga jadi semangat dan setiap hari saya antar terus ke sekolah. Kalau anaknya saja semangat, masa ibunya nggak?” papar Wati.

Iksal, salah satu murid ABK, mengidap penyakit DMD sehingga tidak bisa berjalan lagi. (Ade/National Geographic Indonesia)

Sambutan positif juga datang dari Ida Reni. Anaknya, Iksal Syahreza mengidap DMD (Duchenne Muscular Dystrophy) yang membuat otot-ototnya melemah seiring bertambahnya usia. Saat ini, Iksal kehilangan kemampuan berjalan.

Awalnya, Iksal sempat bersekolah di sekolah umum. Namun, pihak sekolah ternyata tidak mendukung proses pembelajaran untuk penyandang disabilitas seperti Iksal. Tidak hanya teman sebaya yang selalu mengejek, guru-guru juga meremehkan Iksal yang sulit mengikuti kegiatan di sekolah karena penyakitnya.

Situasi yang tidak menyenangkan tersebut membuat Iksal merasa minder dan terpaksa keluar dari sekolahnya. Selama tiga bulan, bocah berusia 11 tahun ini hanya belajar di rumah sebelum akhirnya bergabung dengan Dreamable pada pertengahan Oktober ini.

“Sekarang mah Iksal seneng sekolah di sini. Katanya gurunya baik-baik dan nggak ada yang marahin lagi,” ungkap Ida.

Skeptis dan terbatasnya fasilitas

Meski begitu, tidak semua orangtua seperti Wati dan Ida. Menurut Yuli, masih banyak orangtua yang tidak ingin menyekolahkan anaknya. Mereka merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga cenderung menyembuyikannya di dalam rumah. Selain itu, para orangtua ini juga skeptis terhadap kemampuan anaknya dan menganggap mereka tidak berguna.

Melalui program Dreamable, PT Pertamina TBBM Bandung Group membantu ABK di sekolah inklusi Hidayah. (Ade/National Geographic Indonesia)

“Orangtua yang ‘bandel’ ini membuat saya sedih. Makanya saya tidak pernah berhenti untuk mengajak mereka untuk menyekolahkan anaknya. Anak-anak ini juga manusia dan berhak mendapat pendidikan,” tutur Yuli.

Untuk ABK yang tidak diperbolehkan pergi ke sekolah, Yuli pun memberlakukan Kelas Kunjung. Seminggu sekali, biasanya Yuli akan datang ke rumah mereka sambil membawa alat edukasi. Meski kadang ditolak mentah-mentah, tetapi ibu empat anak ini tidak pernah menyerah.

Tak dapat dimungkiri, salah satu kesulitan yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana.

“Banyak orangtua ABK yang berpikir bahwa dengan mengemis saja mereka sudah bisa mendapat uang. Jadi, tidak perlu belajar. Namun, saya ingin sekali mengajak mereka bersekolah karena mumpung masih mudah dibentuk karakternya,” imbuhnya.

Selain penolakan orangtua, tak dapat dimungkiri bahwa kesulitan lain yang dialami Yuli adalah terbatasnya dana dan fasilitas. Rumahnya yang tidak begitu besar akan sulit menampung lebih banyak anak ABK. Kegiatan dalam Program Dreamable pun tidak bisa sering-sering dilakukan di luar ruangan, seperti piknik atau berenang, karena tidak ada biaya dan transportasi.

Melihat hal ini, PT Pertamina TBBM Bandung Group yang berlokasi tidak jauh dari Sekolah Inklusi Hidayah, ke depannya berencana memberi bantuan berupa bangunan sekolah dan mobil antar-jemput khusus murid ABK. Saat ini, CSR Pertamina sudah menyerahkan alat-alat tulis dan bahan pembelajaran, serta seragam olahraga untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Senam pagi dan kegiatan luar rungan rutin dilakukan ABK di sekolah inklusi Hidayah. (Ade/National Geographic Indonesia)

Keinginan untuk membantu ini tidak begitu saja datang. PT Pertamina TBBM Bandung Group sudah terlebih dahulu memiliki program OMABA, Ojek Makanan Balita, yang terfokus pada pengentasan gizi buruk di sana.

Andi Ramadhan, Head Operation PT Pertamina TBBM Bandung Group menceritakan bahwa dalam pelaksanaan OMABA, Andi dan tim melihat adanya usaha tulus Yuli beserta pengajar lainnya dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sana. Tanpa ragu, PT Pertamina TBBM Bandung Group akhirnya memutuskan untuk ikut terlibat membantu.

Ia berharap, dengan adanya program Dreamable anak-anak berkebutuhan khusus di Sekolah Inklusi Hidayah nantinya dapat lebih mandiri. 

Baca Juga : Melihat Rumah Adat dan Kain Tenun Khas Kampung Adat Prailiu

Sejalan dengan Andi, Yuli ingin murid-murid ABK di Sekolah Inklusi Hidayah bisa mengenyam pendidikan yang sama, meski berasal dari keluarga yang kurang berada. Yang lebih penting, ia ingin anak-anak ini bisa mengurus dirinya sendiri. “Setidaknya, kalau anggota keluarganya sudah tidak ada, mereka dapat mengurus dirinya sendiri,” kata Yuli.

Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Yuli selain melihat anak-anak didiknya bisa melakukan kegiatan sehari-hari, mulai dari yang terkecil seperti makan, membersihkan kotoran, mandi, dan memakai baju sendiri.

“Rasa senangnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika melihat mereka mulai mandiri secara bertahap,” pungkasnya.