Turunnya Cakupan Imunisasi Anak Indonesia dan Krisis Kepercayaan

By National Geographic Indonesia, Selasa, 11 Desember 2018 | 13:01 WIB
Imunisasi. (scyther5/Getty Images/iStockphoto)

Baca Juga : Tersimpan Jutaan Spesies yang Belum Terungkap di Antara Permukaan dan Inti Bumi

Dari riset meta-analisis tersebut ditemukan pentingnya norma sosial dan dukungan dari kelompok pro-vaksin, agar vaksinasi menjadi “hal yang normal dilakukan” bagi mayoritas orang tua. Ini agar mereka menerima vaksinasi tanpa pikiran berpikir dua kali. Kemudahan akses, dan adanya rekomendasi tentang pentingnya imunisasi oleh pemerintah dan sumber yang dipercaya berkontribusi besar agar vaksinasi dapat diterima sebagai norma sosial bagi orang tua.

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan keamanan vaksin merupakan faktor yang sangat penting. Kepercayaan masyarakat yang rendah dapat menyebabkan masyarakat enggan dan menolak program imunisasi. Contohnya di Ukraina, WHO melaporkan [adanya kejadian luar biasa (KLB) campak] dengan total kasus mencapai 28.182 kasus dengan 13 kematian hingga Agustus 2018 akibat adanya kecemasan tentang keamanan vaksin, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan sistem kesehatan yang jelek.

Gerakan pro-vaksinasi

Kasus lain yang menunjukkan dampak faktor emosional bisa dilihat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di California, AS yang menyebar di beberapa negara bagian AS pada 2015. Dari 188 kasus campak, umumnya terjadi pada mereka yang tidak divaksinasi karena adanya aturan “pembebasan vaksin karena alasan pribadi atau kepercayaan”.

Kejadian luar biasa ini menjadi titik kritis bagi orang tua pro-vaksin yang membuat sebuah gerakan untuk membatalkan aturan ini. Pencabutan aturan ini akhirnya berhasil diloloskan oleh Senat California.

Gerakan di California juga menggunakan pendekatan emosional melalui imbauan dari seorang anak penderita Leukemia bernama Rhett yang mengajak orang-orang untuk divaksinasi. Para kelompok pro-vaksin juga membagikan kisah-kisah emosional dan kesaksian pribadi menggunakan platform YouTube dan Facebook. Dalam hal ini, kisah Rhett adalah cara ampuh untuk menggugah emosi dan mengubah pikiran orang untuk mendukung vaksinasi.

Di Italia, guru-guru yang peduli program vaksinasi juga dimobilisasi untuk mendesak pemerintah agar mempertahankan aturan vaksinasi wajib bagi setiap anak. Mereka tidak ingin anak-anak yang tidak divaksinasi di dalam kelas menjadi sumber penyakit bagi murid lainnya. Inisiatif seperti ini perlu diperjuangkan sebagai contoh untuk memotivasi orang lain.

Pendekatan persuasif dan melawan hoax

Investigasi dari BBC terhadap berita palsu (hoax) di Afrika dan India menunjukkan bahaya penyebaran informasi tidak akurat lewat media massa atau media sosial macam Facebook pada sentimen dan perilaku publik, termasuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap vaksin. Kondisi ini memicu penolakan terhadap vaksinasi dan meningkatkan risiko wabah penyakit.

Baca Juga : Isi The Great Blue Hole, Lubang Bawah Laut Kedua Terdalam Dunia Terungkap

Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, salah satu negara dengan pemakaian internet tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Banyak orang tua di Indonesia memilih tidak memvaksinasi anaknya atau menolak vaksin yang disiapkan pemerintah akibat pengaruh hoax.