Aplikasi Kesehatan untuk Kendalikan Penyakit tak Menular, Efektif?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 2 Januari 2019 | 19:03 WIB
Ilustrasi teknologi dan kedokteran dalam aplikasi. (Natali_Mis/Getty Images/iStockphoto)

Hal lain, pengguna ponsel cerdas didominasi oleh generasi muda, sedangkan penderita dan populasi yang berisiko lebih banyak di dewasa, pralansia dan lansia. Aspek klasik lainnya tentu saja adalah ancaman keamanan, kerahasiaan dan privasi data kesehatan.

Efektif tidaknya app kesehatan untuk membantu pengendalian PTM akan bergantung kepada banyak hal. Di antaranya adalah fungsi, kualitas, kemudahan dan biaya app, jenis penyakit tidak menular, perubahan perilaku yang diharapkan, karakteristik pengguna, interaksi dengan tenaga atau fasilitas kesehatan dan berbagai faktor kontekstual lainnya.

Teknologi bertemu kebijakan

Adanya potensi, di samping kendala yang harus diatasi, merupakan salah satu alasan perlunya regulasi. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2017 tentang Strategi e-Kesehatan Nasional. Namun, aspek teknis mengenai m-Kesehatan, baik potensi dan risikonya belum diatur.

Sebagai contoh, app seperti apa yang dapat direkomendasikan ke dokter untuk pengelolaan pasien diabetes? Apakah app tersebut harus melewati uji klinis (clinical trial)? Bagaimanakah peran Komite Penilaian Teknologi Kesehatan/Health Technology Assessment di Kementerian Kesehatan dalam mengkaji produk m-Kesehatan?

Untuk menilai aspek keselamatan (safety), siapakah yang terlibat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau lembaga lainnya? Bagaimana pula peran Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menilai interoperabilitas, keamanan, kerahasiaan dan perlindungan privasi data pribadi? Apakah dokter yang memberikan layanan melalui app konsultasi kesehatan harus berlisensi?

Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter diizinkan berpraktik maksimal di tiga tempat. Jika harus berlisensi, apakah nanti akan mengurus surat izin praktek (SIP) ke dinas kesehatan, layaknya praktik konvensional?

Baca Juga : Ingin Resolusi Tercapai? Ini Langkah-langkah yang Bisa Dilakukan

Saat ini, banyak pertanyaan tanpa jawaban. Regulasi memang harus dibuat dengan penuh pertimbangan dan kajian. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyebutkan peran Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor (IPPS) untuk mengawasi pelaksanaan tugas sektor dan mengeluarkan pengaturan terhadap sektor berkaitan dengan penerapan sistem dan transaksi elektronik. Namun, sampai saat ini IPPS kesehatan belum terbentuk. Di sisi yang lain, inovasi digital berkembang secara cepat. Ketika regulasi memang belum tersedia, apa solusinya?

Lalu bagaimana?

Pemerintah perlu menggandeng komunitas e-Kesehatan untuk berbagi pengalaman praktis sekaligus mengumpulkan repositori app kesehatan. Selanjutnya perlu dibentuk jejaring dengan melibatkan profesi kesehatan, pasien, penyedia layanan kesehatan serta para pengambil kebijakan.

Pengalaman perusahaan rintisan dalam mengembangkan dan menerapkan app kesehatan akan menjadi sumber informasi penting bagi pemangku kepentingan untuk membuat keputusan strategis: membiarkan begitu saja, mengadopsi atau bahkan mengintegrasikan m-Kesehatan ke dalam program pengendalian penyakit tidak menular.

Ketika semua tidak tersedia, ada ungkapan menarik dari bos Go-Jek Nadiem Makarim: “Teknologi, bukan policy, yang punya dampak terbesar di Indonesia”.

Anis Fuad, Assistant lecturer, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.