“Boleh dibilang, kecanduan adalah bentuk belajar yang sakit,” kata Antonello Bonci, ahli ilmu saraf di National Institute on Drug Abuse.
Gallimberti merasa terkesan saat membaca artikel koran tentang eksperimen yang dilakukan Bonci dan rekan-rekannya di NIDA dan University of California, San Francisco. Mereka mengukur aktivitas listrik di neuron pada tikus pecandu kokaina dan menemukan bahwa wilayah otak yang terlibat dalam menahan perilaku ternyata terlalu diam. Para peneliti mengaktifkan sel-sel lesu ini pada tikus tersebut. “Minat tikus-tikus itu pada kokaina praktis lenyap,” kata Bonci. Para peneliti meyakini bahwa merangsang wilayah otak manusia yang bertugas menahan perilaku, di korteks prefrontal, dapat meredam hasrat tak terpuaskan pecandu untuk teler.
Gallimberti merasa TMS dapat menjadi cara praktis untuk melakukan itu. Otak kita beroperasi dengan adanya impuls listrik yang melesat di antara neuron setiap kali kita berpikir dan bergerak. Stimulasi otak, yang sudah bertahun-tahun digunakan untuk mengobati depresi dan migrain, memanfaatkan sirkuit itu. Perangkat itu hanya berupa kumparan kawat di dalam tongkat. Saat dijalari arus listrik, tongkat itu menghasilkan denyut magnetis yang mengubah aktivitas listrik di otak. Gallimberti berharap, denyut berulang akan mengaktifkan jalur saraf yang rusak oleh obat, seperti reboot pada komputer yang macet.
Baca Juga : Penampakan Pertama dari Hotel Luar Angkasa yang Akan Diluncurkan Pada 2021
Dia dan rekannya, psikolog neurokognitif Alberto Terraneo, bekerja sama dengan Bonci untuk menguji teknik ini. Mereka merekrut sekelompok pecandu kokaina: Enam belas orang menjalani sebulan stimulasi otak, sementara tiga belas orang mendapat perawatan standar, termasuk obat untuk kecemasan dan depresi. Pada akhir eksperimen, sebelas orang di kelompok stimulasi, tetapi hanya tiga di kelompok satunya, terbebas dari obat.
Para penyelidik menerbitkan temuan ini dalam edisi Januari 2016 jurnal European Neuropsychopharmacology. Ini memicu banjir publisitas, yang memikat ratusan pemakai kokaina ke klinik itu. Perotti datang dalam keadaan gugup dan gelisah. Setelah sesi pertama, katanya, dia merasa tenang. Tak lama kemudian, hasratnya untuk kokaina hilang. Enam bulan kemudian masih lenyap. “Ini perubahan total,” katanya. “Saya merasakan semangat dan hasrat hidup yang sudah lama tak dirasakan.”
Perlu eksperimen besar dengan kendali plasebo untuk membuktikan bahwa perawatan ini berhasil dan manfaatnya langgeng. Tim berencana melakukan kajian lebih lanjut, dan peneliti di seluruh dunia sedang menguji stimulasi otak untuk membantu orang berhenti merokok, minum alkohol, berjudi, lewah makan (binge eating), dan menyalahgunakan opioid. “Teknik ini begitu menjanjikan,” kata Bonci. “Kata para pasien, ‘Dulu kokaina bagian jati diri saya. Sekarang hanya masa lalu yang tak lagi mengendalikan saya.’”
Dulu, konsep memperbaiki struktur otak untuk melawan kecanduan tentu terasa muluk. Tetapi, kemajuan dalam ilmu saraf telah menjungkirkan pemikiran konvensional tentang kecanduan—definisinya, pemicunya, dan mengapa berhenti begitu sulit. Jika membuka buku teks kedokteran 30 tahun silam, kita tentu membaca bahwa kecanduan adalah ketergantungan pada zat dengan toleransi kian tinggi, sehingga memerlukan makin banyak zat itu untuk merasakan efeknya dan menimbulkan sakau yang menyiksa saat pemakaian dihentikan. Ini cukup menjelaskan alkohol, nikotin, dan heroin. Tetapi, tidak pas untuk ganja dan kokaina, yang biasanya tidak menimbulkan gigil, mual, dan muntah seperti sakau heroin.
Model lama juga tidak menjelaskan aspek kecanduan yang mungkin paling jahat: kambuh.
Laporan Surgeon General menegaskan pendapat kalangan ilmiah selama bertahun-tahun: kecanduan itu penyakit, bukan kelemahan moral. Penyakit ini belum tentu dicirikan oleh ketergantungan fisik atau sakau, tetapi oleh pengulangan kompulsif suatu kegiatan meskipun merusak hidup. Pandangan ini menyebabkan banyak ilmuwan menerima gagasan yang dulu dianggap menyimpang, bahwa kecanduan dapat terjadi tanpa narkoba.