Otak Yang Mencandu dan Kebiasaan yang Merugikan, Bagaimana Melawannya?

By Rahmad Azhar Hutomo, Jumat, 25 Januari 2019 | 10:30 WIB
Kecanduan membajak jalur saraf otak. Para ilmuwan menentang pandangan bahwa kecanduan adalah kelemah (Max Aguilera-Hellweg)

Marc Potenza melangkah di kasino Venetian yang luas di Las Vegas. Potenza, psikiater yang ramah dan energetik di Yale University dan direktur Program for Research on Impulsivity and Impulse Control Disorders di universitas itu. Dia menuruni eskalator dan melewati lorong panjang ke ruang pertemuan yang tenang di Sands Expo Convention Center. Di sinilah dia akan menyajikan penelitiannya tentang kecanduan judi kepada sekitar seratus ilmuwan dan klinisi.

Pertemuan ini diselenggarakan oleh National Center for Responsible Gaming, kelompok yang didukung industri yang mendanai penelitian judi yang dilakukan oleh Potenza dan lainnya. Pertemuan itu diadakan pada hari sebelum konvensi raksasa industri judi, Global Gaming Expo. Potenza berdiri di mimbar, berbicara tentang integritas materi putih dan aliran darah korteks pada otak penjudi. Di luar ruangan itu, para peserta pameran sedang memasang poster yang menggembar-gemborkan inovasi yang dirancang untuk mengalirkan dopamin pada generasi milenial. Lebih dari 27.000 produsen permainan, desainer, dan operator kasino akan menghadirinya.

Potenza dan ilmuwan lain mendorong kalangan psikiater untuk menerima konsep kecanduan perilaku. Pada 2013, American Psychiatric Association mengeluarkan judi bermasalah dari bab yang berjudul “Kendali Impuls yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain” dalam Diagnostic and Statistical Manual dan memasukkannya ke bab yang berjudul “Gangguan Terkait Narkoba dan Gangguan Adiktif.” Ini bukan sekadar masalah teknis. “Ini membobol bendungan untuk mempertimbangkan perilaku lain sebagai kecanduan,” kata Judson Brewer, direktur penelitian di Center for Mindfulness di University of Massachusetts Medical School.

Baca Juga : Hujan Terus Mengguyur, Kenali Beberapa Tanda dan Jenis Tanah Longsor

Asosiasi ini mempertimbangkan ma-salah ini selama se-puluh tahun lebih, sementara penelitian terkumpul bahwa judi itu mirip kecanduan narkoba. Hasrat tak terpuaskan, penguasaan pikiran, dan dorongan tak terkendali. Kesenangan instan dan kebutuhan untuk terus menaikkan taruhan untuk merasakannya. Tak mampu berhenti, meskipun sudah berjanji dan bertekad. Potenza melakukan beberapa kajian pencitraan otak pertama tentang penjudi, dan menemukan bahwa citra itu mirip dengan pindaian pecandu obat, yaitu kegiatan yang lambat di bagian otak yang bertugas mengendalikan impuls.

SETELAH KALANGAN psikiatri menerima konsep bahwa kecanduan dapat terjadi tanpa narkoba, para peneliti sedang berusaha menentukan jenis perilaku apa saja yang tergolong kecanduan. Apakah semua kegiatan menyenangkan berpotensi menimbulkan kecanduan? Ataukah kita terlalu memedikalisasi setiap kebiasaan, dari melirik email setiap menit sampai makan cokelat setiap sore?

Di Amerika Serikat, Diagnostic and Statistical Manual kini mencantumkan gangguan bermain gim internet sebagai kondisi yang layak dipelajari lebih jauh, serta juga duka kronis yang melumpuhkan dan gangguan minum kafeina. Kecanduan internet tidak disertakan.

Tetapi, disertakan dalam daftar kecanduan psikiater Jon Grant. Demikian pula belanja dan seks kompulsif, kecanduan makanan, dan kleptomania. “Apa pun yang terlalu menyenangkan, apa pun yang memicu euforia atau menenangkan, bisa menjadi adiktif,” kata Grant, yang memimpin Addictive, Compulsive and Impulsive Disorders Clinic di University of Chicago. Apakah hal tersebut menjadi adiktif tergantung pada kerentanan seseorang, yang antara lain dipengaruhi oleh genetika, trauma, dan depresi. “Tidak semua orang menjadi kecanduan,” katanya.

Mungkin kecanduan “baru” yang paling kontroversial adalah makanan dan seks. Dapatkah hasrat dasar menjadi adiktif? World Health Organization merekomendasikan menyertakan seks kompulsif sebagai gangguan kendali impuls dalam edisi terbaru International Classification of Diseases, yang dijadwalkan terbit 2018. Tetapi, American Psychiatric Association menolak seks kompulsif dalam buku petunjuk diagnosis terbarunya, setelah perdebatan serius tentang apakah masalah itu nyata. Asosiasi itu tidak mempertimbangkan kecanduan makanan.

Baca Juga : Harimau Akan Menghadapi Kepunahan Dalam Sepuluh Tahun Mendatang

Nicole Avena, ahli ilmu saraf di Mount Sinai St. Luke’s Hospital di New York, menunjukkan bahwa tikus akan terus melahap gula jika dibiarkan, lalu tumbuh toleransi, ketagihan, dan sakau, sama seperti yang terjadi saat tikus itu kecanduan kokaina. Avena dan peneliti di University of Michigan baru-baru ini menyurvei 384 orang dewasa: Sembilan puluh dua persen melaporkan hasrat terus-menerus untuk makan makanan tertentu dan berkali-kali gagal berhenti, yakni dua ciri kecanduan. Responden memeringkat piza—biasanya dibuat dengan roti tepung putih dan dibubuhi saus tomat yang sarat gula—sebagai makanan paling adiktif, sedangkan keripik kentang dan cokelat seimbang menjadi juara dua. Avena tidak meragukan bahwa kecanduan makanan itu nyata. “Itu alasan utama orang kesulitan mengatasi obesitas.” 

SAINS LEBIH BERHASIL memetakan masalah dalam otak kecanduan daripada mencari cara menanggulanginya. Beberapa obat dapat membantu orang mengatasi kecanduan tertentu. Misalnya, naltrekson dikembangkan untuk mengobati penyalahgunaan opioid, tetapi juga diresepkan untuk membantu mengurangi atau menghentikan minum alkohol, lewah makan, dan judi.

Buprenorfin mengaktifkan reseptor opioid di otak, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada heroin. Obat itu meredam gejala ketagihan dan sakau yang menyiksa, agar orang dapat keluar dari pola adiktif. “Ini mukjizat,” kata Justin Nathanson, pembuat film dan pemilik galeri di Charleston, South Carolina. Dia memakai heroin bertahun-tahun dan mencoba rehab dua kali, tetapi kambuh. Lalu, seorang dokter meresepkan buprenorfin. “Dalam lima menit saya merasa benar-benar normal,” katanya. Dia sudah 13 tahun tidak menggunakan heroin.

Sebagian besar obat yang digunakan untuk mengobati kecanduan sudah beredar bertahun-tahun. Kemajuan terbaru dalam ilmu saraf belum menghasilkan penyembuhan terobosan. Para peneliti telah menguji puluhan senyawa, tetapi meski banyak yang menjanjikan di lab, uji klinisnya belum menunjukkan tingkat keberhasilan tinggi. Stimulasi otak untuk pengobatan kecanduan, yaitu pengembangan dari temuan terbaru dalam ilmu saraf terbaru, masih pada tahap eksperimen.

Meskipun program 12 langkah, terapi kognitif, dan pendekatan psikoterapi lainnya berhasil mengubah hidup banyak orang, tidak ada yang selalu manjur untuk semua orang, dan tingkat kekambuhan masih tinggi.

Petugas penegak hukum yang menangkap lelaki ini dengan dugaan mengisap heroin di pusat kota Seattle memilih merujuknya ke program perawatan untuk pelanggar narkoba tingkat bawah, tidak menjebloskannya ke penjara. Program inovatif ini, yang sudah berjalan lima tahun lebih, mencerminkan semakin besarnya kesadaran bahwa kebiasaan penyalahgunaan obat itu diakibatkan oleh kecanduan dan dapat ditangani sebagai penyakit, bukan kejahatan. (Max Aguilera-Hellweg)

Di dunia pengobatan kecanduan, ada dua kubu. Satu kubu meyakini bahwa kesembuhan dicapai dengan memperbaiki kimia atau struktur yang cacat pada otak kecanduan melalui obat atau teknik seperti TMS, dengan dukungan psikososial sebagai tambahan. Kubu lain memandang obat sebagai tambahan, sebagai cara mengurangi ketagihan dan penderitaan sakau, sementara orang melakukan kerja psikologis yang penting bagi kesembuhan dari kecanduan. Kedua kubu ini sepakat tentang satu hal: Pengobatan yang ada sekarang belum memadai.

Brewer mempelajari psikologi Buddha. Dia juga adalah seorang psikiater spesialis di bidang kecanduan. Dia meyakini bahwa harapan terbaik untuk menyembuhkan kecanduan adalah memadukan ilmu pengetahuan modern dan praktik perenungan kuno. Dia menganjurkan hidup berkesadaran, yang menggunakan meditasi dan teknik lainnya untuk menghadirkan kesadaran tentang perbuatan serta perasaan kita, terutama tentang kebiasaan yang mendorong perilaku merugikan.

Dalam filosofi Buddha, hasrat dipandang sebagai akar semua penderitaan. Buddha tidak berbicara soal heroin atau es krim atau kebutuhan lain yang membawa orang ke grup Brewer. Tetapi, ada semakin banyak bukti bahwa hidup berkesadaran dapat mengimbangi banjir dopamin dalam hidup modern. Para peneliti di University of Washington menunjukkan bahwa program yang berdasarkan hidup berkesadaran lebih efektif dalam mencegah kekambuhan kecanduan narkoba daripada program 12 langkah.

Baca Juga : Bencana Alam Hingga Perpecahan Politik, Ancaman Terbesar yang Dihadapi Dunia di 2019

Hidup berkesadaran itu melatih orang untuk memperhatikan rasa ketagihan tanpa bereaksi terhadapnya. Intinya adalah bertahan menghadapi hasrat kuat itu hingga mereda. Hidup berkesadaran juga mendorong orang memerhatikan mengapa mereka merasa tertarik untuk memakai. Brewer dan lainnya menunjukkan bahwa meditasi dapat menenangkan korteks singulat posterior, yaitu ruang saraf yang terlibat dalam jenis perenungan yang dapat menimbulkan lingkaran obsesi.

Brewer berbicara antara istilah ilmiah—hipokampus, insula—dan bahasa Pali, bahasa dalam kitab Buddha. Pada suatu malam, dia berdiri di depan 23 orang yang makan saat stres.

Donnamarie Larievy, konsultan pemasaran dan pembimbing eksekutif, bergabung dengan kelompok hidup berkesadaran mingguan itu untuk menghentikan kebiasaannya makan es krim dan cokelat. Setelah empat bulan, dia menyantap makanan lebih sehat dan sesekali menikmati es krim cokelat, tetapi jarang mendambakannya. “Ini mengubah hidup,” katanya. “Pada intinya, ketagihan saya sudah berkurang.”

Bayi lelaki berumur lima minggu ini salah satu dari hampir 300 bayi per tahun yang dirawat karena sakau opioid di Cabell Huntington Hospital di West Virginia. Dia tidur dengan sentuhan lembut ibunya, Jordann Thomas, 28, yang dalam proses penyembuhan dari kecanduan heroin. Dokter mengobati bayi itu dengan metadon, lalu menyapihnya dari obat itu. Berat badannya mulai naik, dia bisa tidur tenang, dan siap untuk pulang. (Max Aguilera-Hellweg)
Nathan Abels berniat berhenti minum alkohol—beberapa kali. Pada Juli 2016, dia masuk Unit Gawat Darurat di Medical University of South Carolina di Charleston, berhalusinasi setelah tiga hari minum gin. Saat menjalani perawatan, dia sukarela mengikuti kajian TMS oleh ahli ilmu saraf Colleen A. Hanlon.

Bagi Abels, 28, perajin dan teknisi desain lampu yang memahami cara kerja sirkuit, pengetahuan tentang ilmu saraf membuatnya merasa lega. Dia tidak merasa terjebak oleh biologi atau dibebaskan dari tanggung jawab atas kegiatan minumnya. Alih-alih, rasa malunya berkurang. “Dulu saya selalu berpikir bahwa minum alkohol adalah kelemahan,” katanya. “Saya merasa diberdayakan saat memahami bahwa ini penyakit.”

Dia memanfaatkan semua hal yang ditawarkan pusat medis itu untuk sembuh—obat, psikoterapi, kelompok dukungan, dan kejutan elektromagnetik di kepala. “Otak dapat memulihkan diri,” katanya. “Itu luar biasa.”