Otak Yang Mencandu dan Kebiasaan yang Merugikan, Bagaimana Melawannya?

By Rahmad Azhar Hutomo, Jumat, 25 Januari 2019 | 10:30 WIB
Kecanduan membajak jalur saraf otak. Para ilmuwan menentang pandangan bahwa kecanduan adalah kelemah (Max Aguilera-Hellweg)

Penulis: Fran Smith / Fotografer: Max Aguilera-Hellweg

Nationalgeographic.co.id - Kita semakin memahami rasa ketagihan yang mendorong kebiasaan merugikan—dan bagaimana sains dapat membantu melawannya.

Patrick Perotti mencibir saat ibunya bercerita tentang dokter yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk mengobati kecanduan akibat narkoba.

Perotti, yang berumur 38 tahun dan tinggal di Genoa, Italia, mulai menghirup kokaina saat 17 tahun. Kegemarannya perlahan-lahan menjadi kebiasaan harian, lalu keharusan yang menguasai diri. Dia jatuh cinta, punya anak, dan membuka restoran. Akibat terbebani oleh kecanduannya, keluarga dan bisnisnya ambruk.

Baca Juga : Laut Dunia Semakin Menghangat, Gelombang Kuat Ancam Warga Pesisir

Dia menginap tiga bulan di pusat rehabilitasi dan kambuh 36 jam setelah keluar dari sana. Dia menjalani program lain selama delapan bulan, tetapi pada hari kepulangannya, dia bertemu dengan penjual narkoba dan teler. “Saya mulai sering memakai kokaina,” katanya. “Saya menjadi paranoid, terobsesi, gila. Saya tidak bisa melihat cara untuk berhenti.”

Ketika didesak ibunya untuk menelepon dokter itu, Perotti akhirnya menurut. Dia diberi tahu bahwa dia hanya perlu duduk seperti di kursi dokter gigi dan membiarkan dokter itu, Luigi Gallimberti, memegang perangkat di dekat sisi kiri otaknya, dengan teori bahwa hal itu dapat meredam hasratnya memakai kokaina. “Pilihannya hanya tebing atau Dr. Gallimberti,” dia mengenang.

Dengan menganalisis pindaian otak pecandu kokaina yang dalam proses penyembuhan, ahli ilmu saraf klinis Anna Rose Childress, profesor di University of Pennsylvania, mempelajari bagaimana sinyal narkoba bawah sadar mengaktifkan sistem imbalan otak dan membantu terjadinya kambuh. Ketika dia menunjukkan gambar seperti gambar kokaina di layar kiri kepada pasien selama 33 milidetik, sirkuit imbalan mereka terangsang. (Max Aguilera-Hellweg)

Gallimberti, psikiater dan ahli toksikologi yang mengobati ketagihan selama 30 tahun, memimpin klinik di Padua. Keputusannya untuk mencoba teknik itu, disebut stimulasi magnetis transkranial (TMS), berasal dari kemajuan drastis dalam sains tentang kecanduan—dan dari rasa frustrasinya dengan pengobatan tradisional. Obat bisa membantu orang berhenti minum alkohol, merokok, atau memakai heroin. Namun, kambuh sering terjadi, dan tak ada obat medis yang efektif untuk kecanduan pada stimulan seperti kokaina. “Amat sulit mengobati pasien seperti ini,” katanya.

Lebih dari 200.000 orang di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat overdosis narkoba dan penyakit terkait narkoba, seperti HIV, menurut United Nations Office on Drugs and Crime, dan jauh lebih banyak lagi yang meninggal akibat merokok dan minum alkohol. Lebih dari satu miliar orang merokok, dan tembakau terlibat dalam lima penyebab kematian terbanyak: penyakit jantung, stroke, infeksi pernapasan, penyakit paru obstruksi kronik, dan kanker paru. Hampir satu dari 20 orang dewasa di seluruh dunia kecanduan alkohol. Belum ada yang menghitung jumlah orang yang kecanduan berjudi dan kegiatan kompulsif lain yang semakin diakui sebagai kecanduan.

Baca Juga : Sejarah Dim Sum, Camilan Khas Kanton yang

Para ilmuwan memperoleh gambaran terperinci, tentang cara kecanduan mengganggu jalur dan proses tubuh yang mendasari hasrat, pembentukan kebiasaan, kesenangan, pembelajaran, pengaturan emosi, dan kognisi. Kecanduan menyebabkan ratusan perubahan dalam anatomi, susunan kimia, dan sinyal antar-sel pada otak, termasuk celah di antara neuron yang bernama sinapsis, yang merupakan mekanisme belajar pada molekul. Dengan memanfaatkan keluwesan otak yang luar biasa, kecanduan mengubah sirkuit saraf untuk mengutamakan kokaina atau heroin atau gin, dengan mengorbankan kepentingan lain seperti kesehatan, pekerjaan, keluarga, bahkan nyawa.