Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat

By Agni Malagina, Selasa, 5 Februari 2019 | 08:00 WIB
Pertunjukan Wayang Cecak di Rumah Baca Pulau Penyengat. (Feri Latief)

Nationalgeographic.co.id - Pulau Penyengat memiliki banyak sekali warisan budaya Melayu. Pulau ini kaya akan warisan benda maupun nonbenda. Pulau dengan luas tak lebih dari 2 km persegi di perbatasan Indonesia-Singapura ini telah menyandang status kawasan Cagar Budaya Nasional sejak April 2018 dengan jumlah situs Cagar Budaya sebanyak 46 buah.

Warisan budaya tak benda pun terbilang sangat banyak, beberapa yang terkenal di antaranya adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, peletak dasar-dasar tata bahasa Melayu – Bahasa Indonesia; naskah-naskah Melayu Islam, tradisi perayaan hari raya Islam di Pulau Penyengat; pengetahuan lokal seperti pembuatan baju kurung, tanjak, hantaran, menganyam, kapal pompong; seni tradisi seperti tari zapin Penyengat, boria, gazal, orkes Melayu, kesenian kompang, dan wayang cecak.

Wayang cecak? Kerut kening saya bertambah saat pertama kali mendengar nama wayang cecak.

Baca Juga : Maximón, Santo Perokok dan Peminum Alkohol yang Dihormati di Guatemala

Angin pantai menyejukkan siang nan panas di Rumah Baca Pulau Penyengat yang terletak di komplek Balai Adat Pulau Penyengat. Rumah Baca ini baru saja berdiri atas inisiasi Alfi Rizwan (24) yang juga dalang Wayang Cecak dan kawan-kawan mudanya, dibantu oleh seorang pakar kuliner dan pariwisata Kementerian Pariwisata, Tendi Nuralam.

Mereka menggagas rumah baca sebagai tempat kegiatan literasi anak muda di Pulau Penyengat. Siang itu saya melihat Alfi dan rekannya mempersiapkan panggung dan peralatan musik. Saya menyaksikan pertunjukan Wayang Cecak bersama beberapa anak kecil dan beberapa rekan-rekan fotografer muda Tanjungpinang.

Tiga orang seniman penjaga tradisi Wayang Cecak beraksi. Azmi Mahmud (46) mulai menggesek biolanya, Zulfianda (29) mulai menabuh gendangnya, dan Alfi Rizwan mulai menggerakan dua buah boneka dari belakang layar panggung kotak itu. Saya seperti melihat pertunjukan Wayang Potehi!

Saya menyimak permainan siang menjelang sore itu. Walau hanya 10 menit, pertunjukan itu sangat memukau. Alunan musik biola dan gendang yang mengiringi Alfi mendalang sangat syahdu. Bagi saya, alunan musik Melayu yang lembut sore itu sangat menyentuh hati, damai dan membuat saya menjadi agak melankolis.

Mereka membawakan lakon “Syair Siti Zubaidah”.

“Syair ini berkisah tentang seorang wanita yang menyamar sebagai seorang lelaki dan menaklukkan negeri Tiongkok untuk menyelamatkan suaminya,” ujar sang dalang. 

Usai pertunjukan, saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mencecar Azmi Mahmud dengan aneka pertanyaan yang telah mangganggu saya sejak pertama kali menyaksikan pertunjukan Wayang Cecak.

Sambil mengelus biolanya, Azmi, pemenang anugerah Penata Musik Tradisi terbaik tingkat Nasional 2016 dan 2017 itu mulai berkisah tentang asal mulai ia dan rekan-rekan muda seniman Pulau Penyengat merevitalisasi Wayang Cecak. Ia mengawali revitalisasi pertunjukan wayang cecak pada tahun 2017 dengan gagasan dari seorang peneliti di Pusat Bahasa Jakarta, Muzizah.