Koin Kuno Spanyol dan Kisah Rempah Wangi Cendana di Pulau Timor

By Agni Malagina, Jumat, 8 Februari 2019 | 10:00 WIB
Koin Spanyol di Desa Atapupu, milik keluarga Bitinberek yang merupakan keturunan keluarga kerajaan di Atapupu, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. (Feri Latief)

Real Spanyol yang dibawa oleh Portugis tersebut adalah uang logam atau koin yang berbahan dasar perak murni dengan berat 25,2605gram. Koin milik Spanyol tersebut ternyata disukai oleh saudagar-saudagar di Nusantara. Real Spanyol juga diketahui tidak hanya dicetak di Spanyol, tetapi juga dicetak wilayah jajahan Spanyol,Meksiko, Peru dan Filipina. Dimulailah era kejayaan real Spanyol di wilayah yang disebut Anthony Reid sebagai “Tanah Di Bawah Angin” tersebut.

Dalam berbagai catatan sejarah numismatik,real Spanyol dan uang kepeng Cina disebutkan mampu mengalahkan berbagai jenis uang koin yang beredar antara abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19.

Real Spanyol dicetak tidak hanya di Spanyol, tetapi juga di daerah jajahan milik Spanyol seperti Mexico,Peru dan Filipina. Koin yang dicetak di masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri. Meskipun begitu, semuanya dianggap mewakili uang real Spanyol dan memiliki nilai yang sama.

Melihat dominasi yang begitu besar dari penggunaan real Spanyol di Nusantara, VOC berusaha mengambil keuntungan dari hal tersebut. VOC meminta izin kepada Heeren XVII atau Tuan-tuan Tujuh Belas, pemilik dari VOC, untuk bisa mencetak uang real milik mereka sendiri. VOC diizinkan dan kemudian mencetak uang yang mirip dengan real Spanyol, juga berbahan dasar perak, dengan sebutan dukaton. Hingga akhirnya VOC runtuh tahun 1799, usaha pencetakan koin perak dari Belanda tetap berjalan. Dukaton kemudian digantikan dengan rijksdaalder atau gulden.Uang yang dijadikan perhiasan di Timor tersebut merupakan uang koin Belanda pecahan 2½ gulden memiliki berat 25 gram perak, sedangkan pecahan 1 gulden memiliki berat 10 gram perak

Meskipun memiliki kadar perak lebih tinggi dari real Spanyol, gulden tidak pernah mampu menggantikan real Spanyol sebagai alat pembayaran di Nusantara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab, saudagar-saudagar yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara tidak tertarik menggunakan uang lain. Mereka telah terbiasa dengan real Spanyol dan menjadikan koin tersebut sebagai alat tukar dan atau patokan nilai dari barang-barang yang diperjualbelikan.

Berbeda dengan uang kepeng Cina, peredaran real Spanyol lebih banyak terjadi di kalangan orang-orang kaya, pedagang atau saudagar pelabuhan, dan juga keluarga kerajaan di Nusantara. Terbatasnya peredaran uang ini juga dikarenakan real Spanyol memiliki nilai nominal yang tinggi, sehingga tidak semua warga masyarakat mampu memilikinya, terutama mereka yang berada di pedalaman.

Baca Juga : Sejarah Jatinegara, Medan Pertumpahan Darah Prajurit Inggris, Belanda, dan Prancis

Untuk memenuhi kebutuhan akan koin real Spanyol, tiap tahunnya mulai dari VOC hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda selalu mengimpor 350.000-400.000 keping uang ini dari Filipina, Meksiko dan bahkan dari Belanda. Impor dari Belanda tersebut bersamaan dengan impor Gulden milik mereka.

Alasan mengapa VOC selalu mengimpor uang ini adalah karena uang ini selalu menghilang dari peredaran. Menghilangnya uang ini terjadi dikarenakan para penduduk melebur dan atau menjadikan uang ini sebagai perhiasan. Semakin banyak masyarakat yang mengubah koin-koin itu menjadi perhiasan, semakin menghilanglah koin-koin tersebut dari peredaran.

Peneliti sejarah ekonomi dari Belanda, van Laanen dan P. Creutzberg dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, menyatakan bahwa baru pada tahun 1870-an lah dominasi dari Real Spanyol mulai tergantikan. Hal ini dikarenakan telah terdapat lembaga perbankan mencetak uang kertas di Hindia Belanda, yaitu De Javasche Bank.

Penggunaan uang kertas keluaran De Javasche Bank tersebut secara perlahan mulai menggantikan posisi uang real Spanyol, meski koin gulden tetap beredar hingga akhir penjajahan Belanda atas Indonesia. 

Penulis: Syefri Luwis/Agni Malagina

Syefri Luwis adalah mahasiswa Program Studi Sejarah, Pasca Sarjana FIB UI. Ia seorang peneliti yang juga menggemari fotografi.