Nationalgeographic.co.id - Pulau Timor memiliki julukan Nusa Cendana atau Pulau-nya Cendana. Julukan ini terkait erat dengan perdagangan cendana sejak masa awal jalur rempah dunia dan setidaknya telah tercatat resmi pada kronik Cina abad 13 yang berjudul Zhu Fan Zhi yang selesai ditulis oleh Zhao Rugua sekitar tahun 1225.
Hingga abad 18, perdagangan cendana mayoritas dikuasai oleh pedangan dari Cina yang datang dari Malaka, sehingga keturunanya yang berada di Timor sering disebut Sina Mutin Malaka (Cina Putih dari Malaka).
Untuk memperlancar kegiatan pengumpulan cendana dari pedalaman Timor, para pedagang ini tak jarang menikahi putri-putri penguasa suku di wilayah setempat. Para lelaki yang datang dari budaya patriarki ini menjalani prosesi kawin masuk (sae nona) dan tidak menurunkan marganya pada anak-anaknya secara resmi karena keturunannya akan menggunakan marga sang ibu.
Baca Juga : Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
Perdagangan cendana Timor perlahan menurun akibat mulai berkurangnya lahan cendana dan penguasaan perdagangan cendana oleh pemerintah kolonial Belanda di Timor Barat. Sedangkan perdagangan cendana di Timor Timur mayoritas dikuasai oleh pemerintah kolonial Portugis. Namun,peran orang Cina di dalam keluarga bangsawan Timor masih tetap ada.
Hingga saat ini, beberapa nama keluarga aristokrat Timor Barat diketahui memiliki hubungan perkawinan turun temurun dengan orang Cina pada masa perdagangan cendana seperti marga Sally, Samara, Koliatin, Bitin Berek, Taolin, Puai, Halitaek, Pareira, Tiwu, Taolin.
Tak hanya nama bangsawan Timor, nama-nama Portugis pun kemudian diambil menjadi nama belakan keluarga keturunan Cina. Biasanya, nama belakang Portugis seperti Da Silva, Pareira, Da Costa merupakan nama Portugis yang digunakan oleh para bangsawan di Flores dan Timor setelah mereka dibabtis oleh para paderi Katolik yang datang dari Portugis. Sebagian dari mereka masih merayakan upacara tradisional Cina, yaitu Imlek, dengan cara sederhana dan memiliki rasa lokal Timor yang kental dengan aneka percampuran budaya Timor-Cina-Eropa.
Salah satu tampilan unik dari keluarga bangsawan adalah atribut perhiasan yang terbuat dari koin mata uang Spanyol. Bagaimana kisah perjalanan koin Spanyol itu?
Dalam sejarah numismatika di Indonesia, ketika bangsa Portugis datang pertama kali ke Nusantara, mereka juga membawa real Spanyol sebagai alat pertukaran. Pun ketika Belanda melalui VOC berhasil menguasai beberapa wilayah di Indonesia, mereka juga berdagang menggunakan real Spanyol.
Penggunaan real Spanyol dalam sejarah numismatika di Indonesia tidak bisa lepas dari dominasi kerajaan tersebut pada medio abad ke 16. Kerajaan Spanyol menjadi kerajaan yang dominan pada saat itu, terutama karena kemampuan mereka dalam hal militer, wilayah kekuasaan, navigasi dan penjelajahan laut. Bersama dengan Portugis yang saat itu juga salah satu bangsa terkuat di Eropa, dengan semangat 3G, Gold, Gospel and Glory, mereka mengembara ke Timur Jauh.
Pada masa tersebut, dominasi Spanyol dalam hal ekonomi lebih kuat dari pada Portugis. Hal ini terlihat dalam penjelajahan Portugis yang tiba di Nusantara pada awal abad ke-16. Mereka membawa mata uang real Spanyol sebagai alat pembayaran.
Real Spanyol yang dibawa oleh Portugis tersebut adalah uang logam atau koin yang berbahan dasar perak murni dengan berat 25,2605gram. Koin milik Spanyol tersebut ternyata disukai oleh saudagar-saudagar di Nusantara. Real Spanyol juga diketahui tidak hanya dicetak di Spanyol, tetapi juga dicetak wilayah jajahan Spanyol,Meksiko, Peru dan Filipina. Dimulailah era kejayaan real Spanyol di wilayah yang disebut Anthony Reid sebagai “Tanah Di Bawah Angin” tersebut.
Dalam berbagai catatan sejarah numismatik,real Spanyol dan uang kepeng Cina disebutkan mampu mengalahkan berbagai jenis uang koin yang beredar antara abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19.
Real Spanyol dicetak tidak hanya di Spanyol, tetapi juga di daerah jajahan milik Spanyol seperti Mexico,Peru dan Filipina. Koin yang dicetak di masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri. Meskipun begitu, semuanya dianggap mewakili uang real Spanyol dan memiliki nilai yang sama.
Melihat dominasi yang begitu besar dari penggunaan real Spanyol di Nusantara, VOC berusaha mengambil keuntungan dari hal tersebut. VOC meminta izin kepada Heeren XVII atau Tuan-tuan Tujuh Belas, pemilik dari VOC, untuk bisa mencetak uang real milik mereka sendiri. VOC diizinkan dan kemudian mencetak uang yang mirip dengan real Spanyol, juga berbahan dasar perak, dengan sebutan dukaton. Hingga akhirnya VOC runtuh tahun 1799, usaha pencetakan koin perak dari Belanda tetap berjalan. Dukaton kemudian digantikan dengan rijksdaalder atau gulden.Uang yang dijadikan perhiasan di Timor tersebut merupakan uang koin Belanda pecahan 2½ gulden memiliki berat 25 gram perak, sedangkan pecahan 1 gulden memiliki berat 10 gram perak
Meskipun memiliki kadar perak lebih tinggi dari real Spanyol, gulden tidak pernah mampu menggantikan real Spanyol sebagai alat pembayaran di Nusantara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab, saudagar-saudagar yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara tidak tertarik menggunakan uang lain. Mereka telah terbiasa dengan real Spanyol dan menjadikan koin tersebut sebagai alat tukar dan atau patokan nilai dari barang-barang yang diperjualbelikan.
Berbeda dengan uang kepeng Cina, peredaran real Spanyol lebih banyak terjadi di kalangan orang-orang kaya, pedagang atau saudagar pelabuhan, dan juga keluarga kerajaan di Nusantara. Terbatasnya peredaran uang ini juga dikarenakan real Spanyol memiliki nilai nominal yang tinggi, sehingga tidak semua warga masyarakat mampu memilikinya, terutama mereka yang berada di pedalaman.
Baca Juga : Sejarah Jatinegara, Medan Pertumpahan Darah Prajurit Inggris, Belanda, dan Prancis
Untuk memenuhi kebutuhan akan koin real Spanyol, tiap tahunnya mulai dari VOC hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda selalu mengimpor 350.000-400.000 keping uang ini dari Filipina, Meksiko dan bahkan dari Belanda. Impor dari Belanda tersebut bersamaan dengan impor Gulden milik mereka.
Alasan mengapa VOC selalu mengimpor uang ini adalah karena uang ini selalu menghilang dari peredaran. Menghilangnya uang ini terjadi dikarenakan para penduduk melebur dan atau menjadikan uang ini sebagai perhiasan. Semakin banyak masyarakat yang mengubah koin-koin itu menjadi perhiasan, semakin menghilanglah koin-koin tersebut dari peredaran.
Peneliti sejarah ekonomi dari Belanda, van Laanen dan P. Creutzberg dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, menyatakan bahwa baru pada tahun 1870-an lah dominasi dari Real Spanyol mulai tergantikan. Hal ini dikarenakan telah terdapat lembaga perbankan mencetak uang kertas di Hindia Belanda, yaitu De Javasche Bank.
Penggunaan uang kertas keluaran De Javasche Bank tersebut secara perlahan mulai menggantikan posisi uang real Spanyol, meski koin gulden tetap beredar hingga akhir penjajahan Belanda atas Indonesia.
Penulis: Syefri Luwis/Agni Malagina
Syefri Luwis adalah mahasiswa Program Studi Sejarah, Pasca Sarjana FIB UI. Ia seorang peneliti yang juga menggemari fotografi.