Nationalgeographic.co.id - Jika Anda sempat berkeliling di wilayah Petak Sembilan Glodok, singgahlah di sebuah gerai Kaligrafi Cina di Jalan Pancoran VI No.7. Letaknya tak jauh dari Klenteng Toasebio jika Anda berjalan menuju Gang Kalimati, salah satu pusat kuliner dan belanja di wilayah itu. Toko Sanjaya namanya.
Lim Tju Kwet (71)—saya memanggilnya Om Akwet—adalah maestro kaligrafi Cina sekaligus pemilik toko ini. Ia mewarisi toko dan keahlian menulis kaligrafi dari ayahnya, Lim Yan Nam. Tempat ini didirikan lebih dari 80 tahun yang lalu. Toko ini dapat bertahan karena masih adanya pesanan yang datang, bahkan banyak. Hal ini sejalan dengan klaim Lim Tju Kwet bahwa ia adalah satu-satunya pengrajin kaligrafi Cina di Glodok yang tersisa.
Awal pertemuan saya dengan Om Akwet bermula pada tahun 2011, saat saya turut mendampingi perjalanan latihan penelitian lapangan mahasiswa di kampus tempat saya bekerja, Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Baca Juga : Tahun Baru Imlek dan Perayaannya di Indonesia dari Masa ke Masa
Pria kelahiran 1947 ini sudah menekuni seni kaligrafi Cina sejak usia 25 tahun. Kemahirannya membuat kaligrafi Cina tidak diperoleh dalam waktu singkat. Selain darah seni yang memang mengalir di keluarganya, Akwet juga menekuni pendidikan menggurat kaligrafi Cina selama 12 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan kaligrafinya, ia masih membutuhkan 12 tahun lagi untuk mengasah kemampuannya dan meneruskannya hingga sekarang.
“Awalnya, sering liat Papa sering bikin-bikin itu, saya seneng, liat sendiri belajar sendiri,jadi saya nggak ada guru, ya terus belajar,” ujar Akwet sambil menceritakan asal-usul nama tokonya.
“Dulu zaman papa buka toko ini, papan nama nggak ada merk. Pas saya sudah menikah punya anak satu, namanya Sanny Wijaya, jadi saya namain toko Sanjaya. Dia ada di Australia. Udah tinggal di sana. Pan dia kuliah S1 di sini. Inget nggak 98, dia untung tu di belakang Atmajaya (kampus), belakangnya ada pak Haji baek, nginap di rumah pak haji itu, selamet anak saya,” ujar Akwet sambil menceritakan suka dukanya menjadi kaligrafer aksara Han pada masa Orde Baru.
Namun baginya, masa pembatasan ekspresi kebudayaan Cina waktu itu tak menimbulkan trauma. “Idup jalan terus, politik ya namanya idup bernegara ya gitu,” ujarnya.
Berbagai pesanan kaligrafi dikerjakan sendiri oleh Akwet di gerainya yang buka sesuai dengan jam kedatangannya, tak ada waktu yang rutin untuk buka dan tutup tokonya. Setiap karya buatannya dibanderol dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp500.000 hingga jutaan rupiah.
Sebagai contoh, sebuah papan arwah yang digurat dengan tinta emas, Akwet mematok harga Rp2.000.000 bahkan lebih. Walaupun ada harga-harga yang ia patok, namun ia mengaku selalu melihat kondisi perekonomian konsumennya.
Baca Juga : Studi Terlama Dalam Sejarah, Rencana Selesai Pada Tahun 2514
“Liat orang mah, sesuai kemampuan orang. Kalau orang mampu ya sesuai lah harganya, yang nggak mampu ya bisa bantu aja asal kasi bahan. Sekarang tinggal Om sendiri ini begini. Ya pasang harga aja sesuai dengan kemampuan deh. Kita kan ada kepinteran, skill,” tambahnya.