Ia manyatakan bahwa pesanan yang ia kerjakan pun bervariasi, bisa sesuai dengan permintaan pemesan yang sudah dalam Bahasa Mandarin atau pesanan yang diminta pemesan untuk diterjemahkan oleh Akwet sendiri. Akwet melayani aneka bentuk kaligrafi, antara lain kaligrafi kata mutiara, ucapan selamat, harapan, nama, papan arwah, dan lain-lain.
Adapun bahan yang digunakan untuk membuat kaligrafi kebanyakan didapat dari Tiongkok. Misal, kertas gulungan dan kertas merah, tinta (dari Tianjin atau Hongkong), dan kuas. Sampai sekarang ia mempertahankan kualitas bahan-bahan utama pembuatan kaligrafinya.
“Kertas xianzi, di sini nggak ada, musti pegi beli ke Hongkong. Tinta item itu musti dari Tiongkok, di sini ada, tapi beda kwalitas, Jadi ngga bisa jadi kaligrafi. Hasilnya jelek kalau tinta sini dan bau, kaya bau got. Kalau Tiongkok punya bagus, wangi,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menceritakan bahwa ia memiliki distributor langganan alat-alat kaligrafi, ”ada langganan di sana, nanti dikirim. Dari berapa tempat, ada Malaysia juga, di RRT ada, Tianjin ada. Juga Hongkong. Itu di Tianjin khusus jual-jual gini. Ada kakak saya di sana, jadi bisa pesen. Sekali pesen ya musti banyak, pakainya bisa puluhan tahun. Terakhir pesen 10 tahun yang lalu. Tintanya tahan ini 10 tahun. Tinta emas ngeracik sendiri.”
Baca Juga : Perang Jawa dalam Catatan Harian Serdadu Semasa
“Kalau kertas nggak nyetok banyak karena lama-lama bisa kuning. Kuas dari sana juga, di sini nggak bisa bikin kuasnya. Tu lihat, dari bulu serigala. Ada yang dari bulu domba. Yang paling bagus yang bulu serigala itu, yang coklat warnanya,” tambahnya.
Ia sempat menceritakan hari-hari yang ia lalui selama menjadi kaligrafer. Prinsip hidupnya sederhana, ”musti bersyukur, enggak usah kejar-kejar, tapi kerja keras.”
Rupanya memang Akwet memiliki bakat seni lukis yang mumpuni. Ia pernah menjadi pelukis. “Sebulan mah ada laaah, 20-an 30-an. Ngerjain kaligrafi biasanya ya sehari kelar lah, musti kelar pesenan-pesanan hari ini ya kelar. Kalau ada yang susah agak lama. Dulu bisa lukisan orang, sekarang sudah nggak lagi, udah lama. Lukis orang waktunya lama, musti sama,” ujarnya sembari mengakui bahwa sekarang ia tak lagi aktif dan rutin membuka tokonya.
“Sekarang Om udah kaya begini, udah enggak ada semangat. Enggak kaya dulu kerja sampai malam. Jam empat udah pulang. Anak-anak tiga udah pada jadi. Kasih modalnya sekolah, bukan kasih uang. Hari-harian santai kalau di sini ya paling ke mall makan, pacaran lagi bedua sama istri. Seneng kan, bisa dua-duaan. Nanti kalau mau jalan-jalan ke luar negeri tutup, sebulan, dua bulan, tiga bulan pergi,” ujarnya terkekeh.
Akwet dan istrinya tinggal di area Jalan Gajah Mada. Ia memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk menempuh perjalanan dari rumah menuju tokonya di wilayah Petak Sembilan. Sejak dulu, ia membuka tokonya seorang diri. Sayangnya, sang maestro tidak menurunkan keahliannya kepada anak-anaknya ataupun murid. "Anak Om akuntan semua," tambahnya.
Saat ditanya mengenai keinginan untuk menurunkan keterampilannya kepada orang lain, setidaknya terdapat dua alasan dirinya kesulitan menurunkan keterampilannya. Pertama, ia tidak memiliki cukup waktu lantaran kesibukannya memenuhi pesanan pelanggan. Kedua, mempelajari seni kaligrafi Cina tidak hanya membutuhkan keahlian menggurat karakter Han dengan indah, tetapi yang lebih mendasar adalah seseorang yang hendak mempelajari seni kaligrafi Cina haruslah memiliki kemampuan Bahasa Mandarin yang cukup.
Baca Juga : Kisah Perjuangan Penjaga Tradisi Wayang Cecak di Pulau Penyengat
Alasan kedua lah yang menurut Akwet menjadi rintangan terbesar untuk menurunkan keahliannya. Ia juga mengakui bahwa tak seorangpun dari ketiga anaknya yang kelak bisa meneruskan keahliannya membuat kaligrafi Cina.
“Om bisa ajarin orang lain, tapi belum tentu dia bisa bagus kan,” pungkasnya. Ia pun melanjutkan pekerjaannya, menuliskan kaligrafi Cina bertinta hitam memenuhi pesanan pelanggannya. Saya, hanya menatap guratan-guratan aksara Han yang ia torehkan di atas kertas tipis. Raut wajahnya serius dan matanya tampak berbinar. Ya, dia menggurat dengan sepenuh jiwanya, seorang diri.