Sumpit dalam bahasa Cina klasik tercatat dengan sebutan zhu, yang terdiri dari ‘radikal’ bambu dan karakter yang bermakna membantu. Ini menunjukkan bahwa sumpit erat kaitannya dengan bahan bambu.
Dalam Kitab Klasik Liji yang dikompilasi oleh Konfusius (551-479 SM), disebutkan bahwa sumpit digunakan sebagai perangkat ‘pembantu’ untuk mengambil makanan. Ketika memasak sayur (cai) maka sumpit digunakan. Namun, sumpit tidak dipakai untuk mengambil masakan dari biji-bijian atau nasi (fan).
Menurut Ota Masako, peneliti sumpit di Jepang, setidaknya, pada masa perang (akhir Dinasti Zhou) tahun 475-221 SM, sumpit sudah digunakan secara luas di Cina. Sumpit pun belakangan lebih sering disebut kuaizi.
Menyebar ke seluruh Asia
Penggunaan sumpit menyebar luas di daratan Cina sejak masa Dinasti Song abad 14. Ia digunakan dalam berbagai kesempatan jamuan dan makan sehari-hari. Bahkan, sudah menjadi bagian penting dalam budaya tradisi komunal makan meja bundar.
Pada abad ke-7, sumpit mulai digunakan penduduk Jepang. Tak lama setelah itu, diikuti masyarakat Korea.
Baca Juga : Siapakah Pilot Kamikaze Pertama Jepang dan Bagaimana Sejarah Kamikaze?
Dalam kebudayaan Cina, sumpit tak hanya digunakan sebagai alat makan semata. Ia memiliki simbol budaya. Sumpit digunakan sebagai hadiah pernikahan, tanda cinta pasangan, dan harapan bahagia bagi pengantin.
Sumpit pun menjadi simbol kesejahteraan. Apalagi ketika ia dibuat dari emas, perak, gading, giok, eboni dan kayu langka lainnya.
Rupanya, sumpit memiliki kisah yang cukup panjang. Saat ini, perangkat makan asal Tiongkok ini telah menyebar ke seluruh dunia. Bersamaan dengan menjamurnya restoran Tiongkok, Jepang dan Korea.
Ya, sumpit telah menjadi ikon kuliner global makanan asia.