Bentuk Diskriminasi, Penyetopan Mobil Warga Kulit Hitam di Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Rabu, 20 Februari 2019 | 12:00 WIB
Woodrow Vereen, Jr. Fairfield Avenue, Bridgeport, Connecticut (2015) Dua putra Vereen berkendara bersamanya saat dia dihentikan dan digeledah polisi karena menerobos lampu ku-ning. Dia memenangkan gugatan dan kini berjuang mencari cara menceritakan kepada anak-anaknya tentang menghormati polisi. (Wayne Lawrence)

Vereen selalu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa polisi adalah pahlawan super sejati. Sekarang, cerita itu harus berubah.

“Semua yang saya katakan kepada mereka tampaknya tidak nyata,” kata Vereen, 34. “Mengapa pahlawan super ini mencoba menyakiti ayah saya? Mengapa pahlawan super melakukan ini pada kita? Dia seharusnya berada di pihak kita.”

Terguncang akibat kasus penyetopan rutin yang berubah menjadi mematikan, banyak orang tua kulit hitam berlatih dengan anak-anak mereka, terkait apa yang harus dilakukan jika mereka disetop oleh polisi: turunkan jendela mobil sehingga petugas memiliki pandangan yang jelas, nyalakan lampu bagian dalam, jaga agar tanganmu tetap terlihat, letakkan SIM dan surat kendaraan di tempat yang mudah terjangkau, dan demi Tuhan, biarkan petugas itu tahu bahwa kamu hanya mengambil SIM dan surat kendaraan, agar ia tidak menembakmu.

Orang-orang kulit hitam dan Hispanik, khususnya, juga khawatir disetop jika mereka mengendarai mobil yang bagus di lingkungan masyarakat sederhana atau kelas atas, mengendarai mobil yang compang-camping di lingkungan tempat tinggal yang kebanyakan berisi warga berkulit putih, atau mengendarai jenis mobil apapun di daerah yang memiliki tingkat kejahatan tinggi. Hal ini memengaruhi semua orang, mulai dari menteri dan atlet profesional, hingga pengacara dan orang-orang super kaya.

Rosie Villegas-Smith, warga AS kelahiran Meksiko yang tinggal di Phoenix, Arizona, selama 28 tahun, telah disetop beberapa kali oleh deputi sheriff Maricopa County, yang terkenal suka memanfaatkan tuduhan pelanggaran lalu lintas ringan, untuk memeriksa status imigrasi pengemudi Hispanik.

Pada 2011, penyelidik federal menemukan bahwa departemen tersebut menyetop pengemudi Hispanik hingga sembilan kali lebih sering dibandingkan dengan pengendara lainnya. Penyetopan itu adalah bagian dari tindakan keras terhadap imigran tak berdokumen, yang diperintahkan oleh Joe Arpaio, sheriff Maricopa County yang bertugas dari 1993 sampai 2016.

Pengadilan memutuskan bahwa penyetopan-penyetopan tersebut ilegal, namun Arpaio tak dapat dihentikan dan dinyatakan bersalah atas pelecehan pidana pada Juli 2017. Presiden Donald Trump—yang telah memicu ketegangan rasial dengan menyerangi imigran—memberi maaf kepada Arpaio pada bulan berikutnya. Arpaio baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mencalonkan diri di senat AS.

Data statistik tentang penyetopan di tempat lain, adalah samar. Namun, data ini menunjukkan pola yang sama bahwa orang kulit hitam dan Hispanik disetop dan digeledah lebih sering dibandingkan orang lainnya. Hal ini terlihat di mana-mana, memengaruhi pengemudi di kota, daerah pinggiran, dan pedesaan. Pria memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan wanita, dan bagi pria kulit hitam ini merupakan pengalaman universal.

Sebuah studi pada 2017 di Connecticut—salah satu dari sedikit negara bagian yang mengumpulkan dan menganalisis data penyetopan lalu lintas yang komprehensif—menemukan bahwa polisi menyetop pengemudi kulit hitam dan Hispanik secara tidak proporsional pada siang hari, saat petugas bisa dengan lebih mudah melihat siapa yang berada di belakang kemudi.

Banyak departemen kepolisian yang memiliki kebijakan dan pelatihan untuk mencegah pengenalan berdasarkan rasial, tapi peraturan itu bisa menguap dalam pekerjaan polisi sehari-hari.

“Salah satu alasan kaum minoritas dihentikan secara tidak proporsional adalah karena polisi melihat pelanggaran di tempat mereka berada,” kata Louis Dekmar, ketua International Association of Chiefs of Police, yang mengelola departemen kepolisian di LaGrange, Georgia.

“Kejahatan seringkali jauh lebih tinggi terjadi di lingkungan minoritas. Dan di tempat itulah kita mengalokasikan sumber daya kita. Itulah paradoksnya.”