Nationalgeographic.co.id - Jika Anda tinggal di wilayah yang menjadi tujuan wisata, Anda mungkin takut akan musim liburan. Demikian juga halnya dengan para wisatawan, mereka tidak puas dan mengeluh tentang pantai, taman nasional atau objek wisata lainnya yang padat dan tercemar.
Masalah terlalu banyak turis yang dihadapi beberapa negara atau biasa disebut “overtourism” sekarang menjadi masalah serius. Pengalaman berwisata yang menyenangkan bukanlah sumber daya alam yang terbatas layaknya minyak bumi, tapi banyak tujuan wisata populer di Eropa saat ini telah sampai pada titik puncaknya atau disebut sebagai “peak tourism”.
Baca Juga : Kalahkan Italia dan Jepang, Spanyol Jadi Negara Paling Sehat di Dunia
Di Amsterdam, Belanda hingga Dubrovnik, Kroasia telah muncul rasa khawatir tentang polusi suara, taman yang penuh, tekanan pada fasilitas publik dan kenaikan harga sewa. Dalam apa yang digambarkan sebagai “pertempuran global” antara pelancong dan penduduk lokal, protes anti-turis telah terjadi di Barcelona, Spanyol dan Venesia, Italia.
Pertumbuhan pariwisata yang tidak berkelanjutan
Berada di tempat cukup tersembunyi dan sangat indah di Pasifik Selatan, Selandia Baru, tampaknya juga memiliki kekhawatiran yang sama. Hal ini yang menjadi latar belakang Massey University menjadi tuan rumah konferensi penelitian pertama di dunia tentang pariwisata dalam kaitannya meraih tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Antara 2013 dan 2018, kedatangan wisatawan internasional di Selandia Baru naik dari 1,2 juta) menjadi 3,8 juta wisatawan. Selama 12 bulan hingga Maret tahun lalu, wisatawan menghabiskan hampir A$ 40 miliar atau setara dengan Rp 400 triliun, dan industri pariwisata saat ini menyumbang kontribusi sebesar satu dari setiap 12 pekerjaan.
Ekonom melihat pertumbuhan ini sebagai hal yang sangat positif bagi kemajuan negara, tapi banyak warga Selandia Baru yang menyangsikan hal ini: 39% warga telah menyatakan keprihatinan atas dampak negatif dari peningkatan pengunjung internasional. Tekanan terhadap beberapa tujuan wisata khususnya sangat kuat. Misalnya, 20.000 penduduk Queenstown, sebuah kota wisata terkenal untuk musim panas dan musim dingin, harus menjadi tuan rumah bagi sekitar tiga juta pengunjung per tahun.
Baca Juga : Tiga Teori yang Menyatakan Bahwa Asteroid Oumuamua Bukan Kapal Alien
Sementara itu, lembaga-lembaga pemerintahan daerah menyesalkan adanya permintaan berlebih pada infrastruktur publik dan dampak pembuangan limbah dari wisatawan yang berkemah secara bebas. Para kontraktor di empat lokasi perkemahan gratis di Otago Tengah telah berjuang untuk membersihkan 16 ton sampah yang terakumulasi selama dua bulan terakhir.
Salah satu contoh kasus dilema industri pariwisata adalah kasus wisata kapal pesiar di Pelabuhan Akaroa. Ada pertentangan antara beberapa pemilik bisnis yang mata pencahariannya bergantung pada turis pesiar dengan penduduk lokal yang merasakan pelabuhan dan kota kuno mereka yang indah telah diwarnai oleh polusi udara, kebisingan, dan kemacetan karena ratusan wisatawan mampir ke kota mereka.
Di Australia, pantai dengan pasir terputih paling terkenal di dunia yang tercatat di daftar rekor dunia Guinness World–Hyams Beach–telah menolak ribuan pengunjung potensial selama periode Natal dan Tahun Baru. Hal ini karena hanya ada 110 penghuni tetap dan 400 tempat parkir di lokasi tersebut, namun terdapat sekitar 5.000 wisatawan mengunjungi pantai setiap harinya selama musim panas.
Kejadian-kejadian ini telah menggambarkan besarnya tekanan dan ketegangan yang dibawa turis ke banyak bagian dunia, sehingga diperlukan cara-cara yang lebih baik untuk mengatur aktivitas wisata namun tetap mendapatkan keuntungan bagi daerah tujuan wisata.
Langkah ke depan yang lebih berkelanjutan
Jelaslah bahwa sebagian besar orang tidak ingin menghentikan pariwisata. Melainkan mereka menginginkan industri ini agar dapat lebih berkelanjutan. Namun demikian istilah “pariwisata berkelanjutan” telah lama dikritik karena kurang berdampak dan dilihat hanya sebagai upaya untuk mempertahankan pariwisata“, sesungguhnya ada solusi lainnya.
Baca Juga : Mengapa Denim Kebanyakan Berwarna Biru? Berikut Asal Usulnya
Kita dapat mengacu kepada ke-17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). SDGs ini telah diratifikasi pada 2015 oleh 193 negara dan akan memandu pembangunan global hingga 2030.
SDGs mewajibkan pemerintah, masyarakat sipil, dan kepentingan bisnis untuk memainkan peran mereka dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan. Selain itu, SDGs memiliki beragam cara untuk terus mempertimbangkan aspek keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
SDGs dapat membantu memandu industri pariwisata untuk membuat pilihan yang lebih berkelanjutan. Sebagai contoh, sebuah strategi oleh hotel, kapal pesiar dan restoran untuk membeli sebanyak mungkin produk segar dari petani lokal akan mempersingkat rantai pasokan dan menghemat biaya ataupun risiko lingkungan yang dibutuhkan untuk membawa makanan yang ada (dengan demikian telah berkontribusi pada pencapaian SDG ke-13 yaitu memerangi perubahan iklim). Hal ini juga akan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah setempat (menyumbang terhadap pecapaian SDG pertama tentang pengentasan kemiskinan).
Penginapan di Pasifik dapat mengatasi pelecehan seksual yang dilakukan oleh para para tamu terhadap karyawan penginapan untuk menunjukkan bahwa mereka peduli dengan SDG yang ke-8 tentang "pekerjaan yang layak untuk semua” dan SDG ke-5 tentang “memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan”.
Baca Juga : YLKI: Kantong Plastik Berbayar Tak Signifikan Kurangi Penggunaan Kantong Plastik
Untuk tempat-tempat pariwisata yang menjual produk-produk mewah dan pengalaman yang memanjakan, dan karenanya membebani lingkungan alam dan menghasilkan masalah pengelolaan limbah. SDG ke-12 tentang produksi dan konsumsi berkelanjutan dapat mendorong perusahaan untuk menawarkan produk yang lebih berkelanjutan kepada wisatawan sehingga dapat mengurangi pemborosan energi, air, dan makanan.
Upaya untuk mengambil manfaat dari pariwisata sambil mencegah pariwisata yang berlebihan harus tetap memperhatikan SDGs.
Ariza Muthia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Regina Scheyvens, Professor of Development Studies, Massey University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.