Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 10 Maret 2019 | 12:52 WIB
Keadaan serdadu Inggris dan Australia di salah satu kamp tawanan perang Jepang di Batavia. (Lieutenant R. J. Buchanan/Australian War Memorial)

“Djangan kata mengatahoei keadahan loear, liat orang loear sadja tida boleh!” Kehidupan dalam kamp memang membosankan, namun tampaknya penuh romansa. Selain kewajiban menanam sayur di kebun, beberapa orang berinisiatif membuat perpustakan, ceramah intelektual, hingga bermain alat musik bersama.

Nio dan warga Tionghoa lain dibebaskan pada 27 Agustus 1945. Nio bertimbang hati kepada keluarga Belanda yang meskipun bebas, mereka tak lagi memiliki rumah. “”Orang interneeran Tionghoa boleh dibilang ampir semoea masi ada poenja roemah, kemana marika bisa poelang.”

Catatan hariannya selama di kamp, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946.

Bagaimana bisa warga Tionghoa yang lama menetap di Hindia Belanda turut menjadi tawanan perang? Jepang melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga pecinan, dan jurnalis—yang tampaknya tak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.

Kendaraan lapis baja dan kendaraan perang lainnya milik militer Jepang tengah berpatroli di melintasi kawasan Harmoni pada 25 September 1945. (Robert John Buchanan/Australia War Memorial)

Kesaksian Satyawati Suleiman

“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah.