Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 10 Maret 2019 | 12:52 WIB
Keadaan serdadu Inggris dan Australia di salah satu kamp tawanan perang Jepang di Batavia. (Lieutenant R. J. Buchanan/Australian War Memorial)

Nationalgeographic.co.id - “Saya lahir dan dibesarkan di Bandung,” ungkap Frans van Bommel kepada saya sekitar empat tahun silam. Kemudian dia melanjutkan, “Saya masih ingat, semua ketakutan, kecemasan, dan peristiwa pada hari-hari itu—kala Hindia Belanda takluk kepada Jepang.”

Pertalian Frans dengan Bandung tampaknya cukup kuat lantaran ibunya dimakamkan di Pandu, beberapa tahun sebelum kedatangan Jepang. Lelaki itu merupakan salah satu penyintas masa pendudukan Jepang. Bagi Frans, dunia telah melupakan sejarah perang, rasa sakit, penderitaan warga sipil yang tidak bersalah di bawah kekuasaan Jepang yang barbar.

Baca Juga : Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'

Kendati Frans berusia 83 tahun dan telah menjadi warga Colorado, Amerika Serikat, dia masih menyimpan bara dalam benaknya. “Mereka akan selalu menjadi musuh saya, tak peduli kapan pun dan di mana pun,” ungkapnya.

Berita resmi penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang di Lapangan Udara Kalijati tersiar dari corong NIROM pada Senin, 9 Maret 1942. Sehari sebelumnya, di tepian jalan utama Kota Bandung tampak banyak kemeja resmi para perwira yang dibuang bengitru saja, lengkap dengan emblem dan tanda jasa mereka.

Perang Pasifik menorehkan salah satu bab sejarah terkelam dalam peradaban manusia. Barangkali apa yang dikatakan Frans benar, kita memang telah melupakannya. Barangkali pula kita mudah melupakannya karena kita adalah penonton perang yang baik—Nusantara adalah 'terra bellica' namun kita tidak terlibat langsung dalam Perang Dunia. Sejatinya, seperti apakah suasana Hindia Belanda saat itu?

Monumen Tjiaterstelling-Soebang-Kalidjati di Ereveld Pandu, Bandung. Penanda zaman ketika Hindia Belanda takluk kepada Jepang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 Kesaksian B.J. Bijkerk

“Mempertahankan suatu daerah kepulauan seluas Eropa dengan 350.000 orang serdadu bayaran,” ungkap Bijkerk, “berarti suatu pekerjaan yang mustahil.”

Monumen KNIL di Ereveld Pandu, yang menampilkan serdadu dengan klewang dan karabin. Didesain oleh Therese de Groot-Haider pada 1991. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

“Kami mencari-cari hingga horizon, namun tidak menemukan apapun kecuali bercak asap hitam sisa ledakan peluru penangkis serangan udara,” ungkap McDougall.

“Sasoedanja Djepang berkoeasa di sini 6 minggoe lamanja, moelai dilakoeken penangkapan pada pemimpin-pemimpin dan journalist-journalist Tionghoa,” ungkap Nio Joe Lan.

Nio, yang saat itu berusia 38 tahun, diciduk di rumahnya di Jakarta. Bersama warga Tionghoa laki-laki dari beberapa kota di Jawa, mereka menjadi tawanan Jepang. Awalnya, Nio dan warga Tionghoa lainnya ditempatkan di Bukit Duri, lalu dipindah ke Serang. Kamp terakhirnya adalah Tjimahi, bersama 9.000 warga Belanda.

“Djangan kata mengatahoei keadahan loear, liat orang loear sadja tida boleh!” Kehidupan dalam kamp memang membosankan, namun tampaknya penuh romansa. Selain kewajiban menanam sayur di kebun, beberapa orang berinisiatif membuat perpustakan, ceramah intelektual, hingga bermain alat musik bersama.

Nio dan warga Tionghoa lain dibebaskan pada 27 Agustus 1945. Nio bertimbang hati kepada keluarga Belanda yang meskipun bebas, mereka tak lagi memiliki rumah. “”Orang interneeran Tionghoa boleh dibilang ampir semoea masi ada poenja roemah, kemana marika bisa poelang.”

Catatan hariannya selama di kamp, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada1946.

Bagaimana bisa warga Tionghoa yang lama menetap di Hindia Belanda turut menjadi tawanan perang? Jepang melakukan tindakan keras terhadap mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang. Di dalam tawanan itu termasuk para opsir Cina, pemuka warga pecinan, dan jurnalis—yang tampaknya tak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.

Kendaraan lapis baja dan kendaraan perang lainnya milik militer Jepang tengah berpatroli di melintasi kawasan Harmoni pada 25 September 1945. (Robert John Buchanan/Australia War Memorial)

Kesaksian Satyawati Suleiman

“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah.