Nationalgeographic.co.id - Stasiun megah karya arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, diresmikan dengan tradisi Jawa nan agung. Inilah kelindan kehidupan tradisi damai Jawa-Eropa saat peresmian salah satu stasiun terakbar di Hindia Belanda.
Tujuh tahun silam, saya pernah bertemu arsitek senior Ir. R.W. Heringa asal Bloemendaal, Belanda. Malam itu kami berada di halaman belakang sebuah vila mewah abad ke-18 yang kini menjadi Gedung Arsip Nasional, Jakarta Pusat. Heringa berkenan hadir dalam peluncuran buku tentang opanya sendiri: Ir. F.J.L. Ghijsels Architect in Indonesia.
Baca Juga : Riwayat Rempah sang Pembentuk Peradaban Dunia
Frans Johan Lowrens Ghijsels, sang opa yang lahir di Tulungagung akhir abad ke-19, telah menorehkan banyak karya arsitekturnya di seantero Jawa—terutama di Batavia. Setelah lulus kuliah arsitektur di Polytechnic Delft dan bekerja di Amsterdam, Ghijsels dan istrinya mengadu nasib ke Batavia. Mereka tinggal di sebuah rumah di Oud Gondangdia nomor 8, Weltevreden. Kini sekitar Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat.
Awalnya sang opa meniti karir lewat dinas tata kota dan dinas pekerjaan umum pada masa Hindia Belanda. Kemudian, dia mendirikan kantor biro konsultan arsitektur Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau (AIA).
Salah satu arsitektur sohor karya Ghijsels adalah Stasiun Batavia, kini dikenal sebagai Stasiun Jakarta Kota. Warga pun masih ada yang menyebutnya dengan Beos, sebuah lafal kependekan dari nama operator kereta Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij.
Karya Ghijsels selalu menekankan pada semangat kesederhanaan yang bangkit pada masa itu. Ciri khas arsitektur pada awal abad ke-20 adalah art-deco, yang menampilkan kesederhanaan dan rasionalitas sebagai bagian dari keindahan. Aliran baru ini menggantikan gaya arsitektur sebelumnya yang bergaya klasik dengan unsur paladian dan berpilar.
Bangunan stasiun dengan dua menara yang mengapit lengkungan megah di tiga pintu utamanya menjadi penanda karya Ghijsels, menggantikan stasiun lama Batavia Selatan yang berlokasi di belakang Balai Kota Batavia. Ornamen art-deco ditambahkan untuk menghias lengkungan eksterior dan interiornya.
Baca Juga : Dimakan Manusia, Penyebab Kepunahan Kungkang Raksasa di Zaman Es
“Saya tidak dapat meninggalkan kota saat sekarang karena rencana dan anggaran stasiun sudah siap,” tulis Ghijsels pada akhir Juni 1927. Dia mulai mengerjakan sketsa dan desain pada tahun itu pula. Konstruksi Stasiun Batavia dilakukan oleh Hollandsche Beton Maatschappij.
Pada tahun yang sama, dia kerap keluar kota untuk memantau perkembangan pekerjaannya yang lain. Sebagai contoh, proyek desain dan pembangunan Apotek Rathkam di Darmo (kini Kimia Farma sebelah Hotel Santika Pandegiling Surabaya), konstruksi Bank Koloniale di Surabaya, dan IEV Muloschool di Bandung.
Senin pagi, 8 Oktober 1929 para pegawai mengadakan upacara selamatan di stasiun lama dekat Pasar Ikan. Sementara, pada siang harinya dua kepala kerbau dikubur untuk melindungi bangunan Stasiun Kota yang baru dari bencana. Lokasi penguburan kepala kerbau tadi berada di antara tugu jam dan pintu masuk stasiun, dan lainnya di sisi belakang bangunan baru itu.
Orang-orang Belanda pun turut melestarikan tradisi dan kearifan warga Betawi. Inilah kelindan kehidupan tradisi damai Jawa-Eropa saat peresmian salah satu stasiun terakbar di Hindia Belanda. Kehidupan budaya tradisi pribumi dan Eropa memang damai, sebelum akhirnya mereka berseteru sengit pada 1945-1950.
Baca Juga : Zero Waste Adventure, Membangun Budaya Kegiatan Bertualang Tanpa Sampah
Buku yang digagas Heringa tentang opanya juga mengutip sebuah pemberitaan dari koran Javabode sekitar seminggu setelah upacara selamatan. “[Stasiun] Batavia Selatan berdiri bak monumen yang bersaksi kepada penerus kita tentang apa yang harus dipahami seputar ekonomi. Bangunan itu akan menjadi stasiun yang memesona dan bergelar sebagai salah satu stasiun tercantik di timur!”
Jalur rel kereta api Batavia-Bogor diresmikan pada 1871. Kemudian disusul jalur-jalur lain yang menghubungkan Batavia dengan beberapa kota lainnya, seperti Bandung, Yogyakarta, Cirebon, Semarang, hingga ke Surabaya. Setiap stasiun kereta api—kecil atau besar—merupakan penanda peradaban transportasi baru pada masanya. Kelak si ular besi akan mengubah perwajahan kota dan desa yang dilaluinya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR