Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Maret 2019 | 08:00 WIB
Suatu fragmen dari beberapa panil relief porselen karya J.C. Schultsz buatan (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Adegan para kuli perempuan di perkebunan lada. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
Sejatinya, soal penderitaan negeri jajahan, rakyat Belanda dikejutkan dua kali. Kejutan pertama, ketika novel Max Havelaar karya Multatuli diterbitkan pada 1860, yang berkisah penderitaan petani Lebak masa cultuurstelsel—tanam paksa. Karya Multatuli itu kelak menginspirasi adanya politik balas budi Belanda.

Panil relief porselen di gedung HVA (kini PTPN XI) yang menggambarkan aktivitas mandor dan kuli-kuli perkebunan. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.

Breeman berkisah, selama berlayar, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.

Kuli perkebunan kerap kena tipu tuan kebunnya soal upah. Breman mengungkap bahwa upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu.